Prev September 2015 Next
Ming Sen Sel Rab Kam Jum Sab
30 31 01 02 03 04 05
06 07 08 09 10 11 12
13 14 15 16 17 18 19
20 21 22 23 24 25 26
27 28 29 30 01 02 03
04 05 06 07 08 09 10
Berita Kurs Dollar pada hari Jumat, 11 September 2015
Perlambatan Ekonomi RI Tak Ganggu Penyaluran Kredit Mikro Mandiri

Liputan6.com, Malang - PT Bank Mandiri Tbk telah menyalurkan kredit usaha mikro khusus wilayah Jawa Timur senilai Rp 800 miliar sampai dengan Juni 2015. Jumlah itu tumbuh 31 persen dibanding periode sama tahun lalu. Sementara target hingga akhir tahun ini sebesar Rp 1,5 triliun.

Regional Retail Head Bank Mandiri Kanwil VII/Jawa Timur, Sugeng Hariyadi mengungkapkan, perseroan fokus pada sektor-sektor unggulan yang diberikan kredit usaha mikro.

"Yang menjadi sasaran kredit mikro, adalah usaha perdagangan sembako, kos-kosan, industri rumah tangga dan warung makan. Dalam pelaksanaan pemberian kredit mikro, kami sangat selektif," ujar dia saat berbincang dengan wartawan di Malang, Jawa Timur, Jumat (10/9/2015).

Lebih jauh kata Sugeng, Bank Mandiri menargetkan penyaluran kredit usaha mikro di wilayah Jatim sebesar Rp 1,5 triliun sepanjang tahun ini. Sambungnya, yang sudah terserap Rp 800 miliar pada paruh pertama 2015 atau tumbuh 31 persen dibanding realisasi Januari-Juni 2014.

"Pertumbuhan ekonomi Jatim cukup bagus 5,2 persen atau di atas rata-rata pertumbuhan nasional. Jadi penting mendorong perekonomian di daerah melalui usaha mikro," jelas dia.

Dari catatannya, pelaku usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Jatim mencapai 4,2 juta. Dari angka itu, sebanyak 85 persen atau 3,6 juta merupakan usaha mikro. Sedangkan jumlah debitur mikro di Jatim baru mencapai 115 ribu.

"Artinya kami masih punya potensi bagus untuk menggenjotnya. Plafon kredit usaha mikro paling banyak Rp 50 juta-Rp 100 juta. Kami juga punya tugas menyalurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) khusus wilayah Jatim senilai Rp 450 miliar," papar dia.

Saat ditanyakan mengenai posisi kredit macet (Non Performing Loan/NPL) usaha mikro di Jatim, Sugeng, menegaskan masih cukup bagus. "Realisasi NPL sampai Juni ini 3,5 persen untuk kredit mikro," tandas Sugeng. (Fik/Gdn)


Source: liputan6.com
Sambut Akhir Pekan, Rupiah Masih Betah di 14.300 per Dolar AS

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah masih berada di kisaran 14.300 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdangan Jumat (11/9/2015). Hal itu karena ekpektasi kenaikan suku bunga AS masih kuat. Sedangkan sentimen positif atas paket kebijakan ekonomi yang diumumkan Presiden Joko Widodo (Jokowi)  kemungkinan mulai terasa dampaknya pada jangka menengah dan panjang.

Mengutip data Bloomberg, nilai tukar rupiah sedikit menguat 0,1 persen ke level 14.320 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan pukul 10.00 waktu Jakarta. Rupiah di buka menguat di level 14.298 dari penutupan perdagangan kemarin di level 14.332 per dolar AS. Rupiah sempat menyentuh level terkuat di kisaran 14.282 per dolar AS pada awal perdagangan. Hingga siang ini, rupiah bergerak di kisaran 14.281-14.325 per dolar AS.

Kurs tengah Bank Indonesia (BI) mencatat nilai tukar rupiah menguat tipis 0,1 persen di level 14.306 per dolar AS dari perdagangan kemarin yang berada di level 14.322 per dolar AS.

Analis PT Bank Saudara Tbk, Rully Nova mengatakan penyebab pelemahan rupiah karena kuatnya ekpektasi kenaikan suku bunga AS. "Masih faktor eksternal, rapat FOMC akan memutuskan kebijakan suku bunga, pelaku pasar mengantisipasi hal tersebut" kata Rully.

Dalam polling yang dilakukan oleh Wall Street Journal, sebagian besar ekonom dan analis memperkirakan bank sentral AS/ The Federal Reserves akan menaikkan suku bunga pada 2015. Namun kenaikan suku bunga tidak akan dilakukan pada September 2015 melainkan pada Desember nanti.

Kisaran kenaikan suku bunga AS yang akan dilakukan oleh para ekonom dan analis tersebut di kisaran 0,25 persen hingga 0,50 persen dari saat ini yang ada di kisaran 0 persen.

Sementara itu, sentimen positif atas kebijakan deregulasi dan stimulus ekonomi yang di paparkan pemerintah belum terlihat dampak ke nilai tukar rupiah. "Dampaknya belum terlihat, padahal kebijakan yang ada cukup positif," kata Dian Ayu Yustina, Analis pasar uang PT Bank Danamon Indonesia Tbk.

Rully juga memproyeksikan kebijakan tersebut akan terasa dalam jangka waktu menengah hingga jangka panjang. Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan paket kebijakan ekonomi tahap I pada Rabu 9 September 2015. Paket ini diharapkan dapat menggerakkan ekonomi nasional ke arah lebih baik.

"‎Pemerintah melanjutkan dengan berbagai upaya untuk menggerakkan ekonomi nasional. Untuk itu hari ini pemerintah meluncurkan paket kebijakan ekonomi tahap pertama, September 2015 yang terdiri dari tiga langkah," kata Jokowi.

Langkah pertama mengatasi persoalan ekonomi adalah dengan mendorong daya saing industri nasional, melalui deregulasi, debirokratisasi, serta penegakan hukum dan kepastian usaha.

Ia menjelaskan ada 89 peraturan yang dirombak dari 154 peraturan, yang dianggap menghambat daya saing industri nasional.‎ Selain itu, juga sudah disiapkan 17 rancangan peraturan pemerintah, 11 rancangan peraturan presiden, 2 rancangan instruksi presiden, 63 rancangan peraturan menteri dan 5 aturan lain.

"Pemerintah berkomitmen menyelesaikan semua paket deregulasi pada September dan Oktober 2015," ucap Jokowi.

Langkah kedua, lanjut Jokowi, ‎pemerintah akan mempercepat proyek strategis nasional dengan menghilangkan berbagai hambatan dalam pelaksanaan dan penyelesaian proyek strategis nasional. Pemerintah juga akan memperkuat peran kepala daerah untuk melakukan dan memberikan dukungan percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional.

"Ketiga, meningkatkan investasi di sektor properti. Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mendorong pembangunan perumahan, khususnya untuk masyarakat berpenghasilan rendah, serta membuka peluang investasi yang lebih besar di sektor properti," tutur dia.

Jokowi yakin paket kebijakan ekonomi tahap pertama September 2015 ini, akan memperkuat industri nasional, mengembangkan usaha mikro kecil menengah dan koperasi, dan memperlancar perdagangan antar daerah.

Ia melanjutkan kebijakan ini dapat membuat pariwisata semakin bergairah dan menjadikan kesejahteraan nelayan semakin membaik dengan menaikkan produksi ikan tangkap serta penghematan biaya bahan bakar 70 persen melalui konversi minyak solar ke elpiji. (Ilh/Ahm)


Source: liputan6.com
Mental Masyarakat RI Tahan Dolar AS demi Untung Besar

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih berpotensi terkoreksi akibat tekanan global maupun ketidakseimbangan antara suplai dan permintaan dolar Amerika Serikat (AS) di dalam negeri. Ironisnya, eksportir maupun konglomerat di Indonesia menahan dolar AS karena spekulasi kursnya akan semakin menguat.

Direktur Finance and Strategy PT Bank Mandiri Tbk, Kartika Wirjoatmodjo mengungkapkan, banyak orang Indonesia yang menggenggam dolar AS dalam bentuk tunai hingga miliaran dolar AS. Sebut saja para eksportir minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan lainnya.

"Sayangnya mentalitas orang Indonesia tidak mau jualan dolar AS, padahal eksportir CPO punya dolar AS dalam bentuk kas sampai miliaran dolar, cuma tidak ada yang mau mengkonversi ke rupiah," kata dia saat Diskusi Media Training : Mendukung Pertumbuhan Ekonomi Indonesia di Tengah Gejolak Ekonomi Global, Malang, Jumat (11/9/2015).

Menurut Kartika, ada semangat kebinatangan (spririt animal) yang mencakup keserakahan dan ketakutan dari pelaku pasar sehingga sanggup memicu gejolak luar biasa di pasar uang.

"Ada sikap rakus ketika untung besar dan ketakutan ketika market bergejolak sehingga lari membawa dananya ke luar," ujar dia.

Kartika mengakui alasan eksportir maupun pengusaha lokal menahan dolar AS karena melihat peluang nilai tukar dolar AS merangkak naik terhadap rupiah. Inilah yang dikatakannya sebagai ajang spekulasi.

"Tapi sudah ada imbauan dari Presiden supaya dolar jangan ditahan. Masa yang jualan dolar cuma Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo. Kasihan BI harus intervensi berapa dolar buat stabilisasi rupiah," terang Mantan Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ini.

Data Bloomberg Dollar Index menunjukkan, kurs rupiah menguat 35 poin atau 0,24 persen ke 14.298 per dolar AS saat pembukaan hari ini. Sementara kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) dari BI, rupiah terapresiasi 16 poin atau 0,11 persen ke level 14.306 per dolar AS. (Fik/Ahm)


Source: liputan6.com
Bank Mandiri: BI Rate Seharusnya Turun

Liputan6.com, Malang - Pelaku usaha di sektor perbankan menilai indikator makro ekonomi dan perbankan sepanjang Januari-Juni 2015 bergerak cukup baik. Seharusnya realisasi kinerja ini bisa menjadi bahan pertimbangan bagi Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan tingkat suku bunga (BI Rate).

Direktur Finance and Strategy PT Bank Mandiri Tbk, Kartika Wirjoatmodjo menyebut kinerja makro ekonomi Indonesia dari sisi inflasi pada semester I 2015 terkendali dengan pencapaian 7,26 persen year on year (YoY). Dia optimistis, inflasi akan mencapai 4 persen lebih atau sesuai target di akhir tahun ini.

"Sedangkan indikator perbankan, seperti pertumbuhan kredit melambat dengan realisasi 10,4 persen di akhir Juni 2015 dan likuiditas longgar. Jadi kalau lihat faktor domestiknya, suku bunga (BI Rate) harusnya turun," ujar dia saat ditemui dalam Diskusi Media Training di Malang, Jumat (11/9/2015).

Tiko begitu panggilan akrabnya, mengaku, BI dilema untuk menurunkan suku bunga acuan karena isu yang berkembang saat ini adalah depresiasi hampir seluruh mata uang di dunia terhadap dolar Amerika Serikat (AS).   Per 8 September 2015 (year to date), depresiasi kurs rupiah mencapai 15,3 persen atau masih jauh lebih baik dibandingkan mata uang Brazil, Turki, Malaysia dan Rusia yang masing-masing terkoreksi 41,3 persen, 29,5 persen, 23,9 persen dan 16,7 persen.

"Ini isunya currency. Jika suplai dan permintaan tidak seimbang, apalagi dengan tekanan The Fed menaikkan suku bunga acuan (Fed Fund Rate), maka menjadi dilema buat BI. Kasihan Pak Agus (Gubernur BI) dan Pak Mirza (Deputi Gubernur Senior BI) mikirin terus," papar dia.

Sambungnya, dilema terjadi apabila penguatan dolar AS semakin tinggi dan Fed Fund Rate naik, maka memungkinkan bagi BI justru menaikkan suku bunga. Tiko enggan memperkirakan berapa kenaikan maupun penurunan BI Rate bila ada peluang tersebut. (Fik/Ahm)


Source: liputan6.com
Permintaan Kredit Turun, Stok Dolar AS Bank Mandiri Melimpah

Liputan6.com, Jakarta - Di tengah ketidakseimbangan antara suplai dan permintaan dolar Amerika Serikat (AS) di dalam negeri, PT Bank Mandiri Tbk justru menyebut posisi kredit terhadap total dana pihak ketiga (Loan to Deposit Ratio/LDR) dalam bentuk valuta asing (valas) mencapai 62 persen. Sementara total aset bank pelat merah ini dalam denominasi dolar AS sekira US$ 3,2 miliar.

Direktur Finance and Strategy Bank Mandiri, Kartika Wirjoatmodjo mengungkapkan, posisi LDR perseroan sekira lebih dari 83 persen hingga saat ini. Sementara LDR dalam bentuk valas 62 persen dan rupiah 88 persen. Itu artinya, sambung dia, Bank Mandiri mempunyai stok dolar AS cukup banyak.

"Kita punya likuiditas dolar AS kas US$ 1,2 miliar, dan yang diinvestasikan dalam surat utang (bond) termasuk milik pemerintah sebesar US$ 2 miliar. Jadi kita punya aset dolar AS sampai US$ 3,2 miliar," ucap dia di Malang, Jumat (11/9/2015).

Melimpahnya stok dolar AS di Bank Mandiri, kata Tiko begitu dia akrab disapa, karena perseroan kesulitan menyalurkan kredit valas kepada para pengusaha akibat permintaan yang merosot di kredit dolar AS. Ia menuturkan, pertumbuhan kredit valas atau dolar AS Bank Mandiri hanya single digit bahkan nol persen. Mantan Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ini pun meramalkan pertumbuhan kredit valas ke depan relatif kecil.  

"Itu karena pengusaha sudah mulai hati-hati tidak mau kredit dolar AS. Juga karena larangan transaksi menggunakan dolar AS di dalam negeri. Jadi banyak orang konversi kreditnya ke rupiah. Bagus juga orang Indonesia sudah mulai sadar risiko manajemennya susah, apalagi jika kredit dolar tapi pendapatan rupiah," tegas Tiko.

Tiko bilang, banyak orang Indonesia masih menggenggam dolar AS hanya sebagai spekulasi mengingat masih ada potensi rupiah semakin nyungsep dan dolar kian perkasa.

"Tapi mereka tidak mau jual dolarnya. Sebenarnya kita bisa untung dari dolar AS, tapi masa pemerintah mencari untung saja dari apresiasi dolar AS," ujar dia. (Fik/Ahm)


Source: liputan6.com
Rupiah Tertekan Belum Berdampak ke Harga Elektronik di Batam

Liputan6.com, Batam - Nilai tukar rupiah merosot terhadap dolar Amerika Serikat (AS) belum mempengaruhi penjualan barang elektronik di Batam. Akan tetapi, razia barang black market dan palsu oleh aparat cukup mempengaruhi penjualan barang elektronik.

"Untuk saat ini pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS)  belum berdampak untuk harga barang elektronik di Batam ," kata Heri salah seorang pedagang elektronik kepada Liputan6.com,Nagoya, Batam, Jumat (11/9/2015).

Ia mengatakan, sebagian toko elektronik tutup karena para pedagang khawatir dengan razia barang palsu. Apa lagi para aparat sedang rutin melakukan razia. Sedangkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS belum terlalu mempengaruhi penjualan barang elektronik.

"Untuk penjualan handphone dan elektronik lainnya walau pun nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS belum berpengaruh," kata Hery.

Dia mengatakan, semua barang elektronik berupa handphone dan kamera serta barang elektronik lainnya di Batam berasal dari Singapura. Karena itu, barang-barang elektronik di Batam masih mengacu pada dolar Singapura. "Kalau barang elektronik  Jakarta ya pakai dolar AS," ujar dia. (Ajang Nurdin/Ahm)


Source: liputan6.com
Ketimbang Jual Surat Utang, Pinjaman Jadi Andalan Biayai Proyek

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia membutuhkan anggaran hingga Rp 5.000 triliun untuk membangun proyek infrastruktur dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Dana tersebut diyakini tidak akan mampu ditutup dari pinjaman perbankan nasional mengingat keterbatasan kredit atau Loan to Deposit Ratio (LDR).

Direktur Finance and Strategy PT Bank Mandiri Tbk, Kartika Wirjoatmodjo mengungkapkan LDR perbankan nasional rata-rata 80 persen atau dengan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) 15 persen per tahun. Dengan demikian, sambungnya, ada Rp 5.200 triliun setiap tahun yang dikumpulkan bank.

"Sedangkan kebutuhan infrastruktur Negara ini Rp 5.000 triliun dalam 5 tahun ke depan. Perbankan Indonesia tidak akan cukup membiayai proyek-proyek infrastruktur ini. Jadi bisa mengutamakan investasi swasta dengan skema Public Private Partnership (PPP)," ujar dia di Malang, Jumat (11/9/2015).

Jalan keluarnya, saran Kartika, Indonesia memerlukan utang untuk mendanai proyek pembangunan seperti pembangkit listrik 35 ribu megawatt (Mw), jalan tol Trans Sumatera dan proyek prioritas lainnya. Ia mengatakan, utang luar negeri jangan dianggap sebagai keburukan atau kehancuran. Sebagai contoh proyek pembangunan pembangkit listrik 2.000 Mw di Batang, Jawa Tengah terbesar di Asia Tenggara itu ditaksir memakan biaya US$ 2,2 miliar yang akan dibiayai dari ekuitas perusahaan maupun pinjaman.

"Kalau mencari US$ 2,2 miliar di Bank Mandiri tidak akan punya dalam waktu 15 tahun, karena dolar AS kita jumlahnya terbatas dan short term. Konglomerat juga pikir-pikir mau menyimpan segitu. Jadi utang tidak selamanya jelek, karena utang bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi baru," jelas Kartika.

Selain perbankan dan swasta, tambah dia, Indonesia bisa mengandalkan pinjaman dari multilateral seperti dari negara lain maupun lembaga internasional, seperti Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB), International Moneter Fund (IMF). Namun Kartika menyayangkan sikap sejumlah pihak yang justru mengkritik utangan yang datang dari lembaga internasional tersebut. Contohnya saat Christine Lagarde, Managing Director IMF berkunjung ke Indonesia.

Beberapa pihak langsung menghakimi pemerintah tentang kabar penawaran utang dari IMF. "Utang ke ADB, IMF malah dikritik, kalau tidak mau pinjam sama mereka, mau sama siapa lagi. Investor terbesar dalam surat utang negara kita adalah fund manager asing. Mereka beli setiap kali kita terbitkan SUN di AS, Eropa, Jepang," terang dia.

Mantan Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu menilai dampak dari ketergantungan Indonesia atas kebaikan fund manager asing memborong obligasi atau surat utang negara ini akan sangat berbahaya bagi perekonomian Indonesia.

"Karena jika ekonomi kita turun, jual surat utang lalu kita bisa jatuh. Tapi kalau utang ke lembaga internasional dan negara lain, mereka tidak akan kabur jika Indonesia sedang ada masalah. Makanya Pak Bambang Brodjonegoro (Menteri Keuangan) akan mencari sumber pembiayaan dari multilateral," kata Kartika. (Fik/Ahm)


Source: liputan6.com