Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali tertekan pada perdagangan Rabu (2/9/2015) karena tekanan global. Beberapa hari sebelumnya, nilai tukar rupiah sempat menguat namun tak mampu keluar dari level 14.000 per dolar AS.
Mengutip data Bloomberg, rupiah dibuka di angka 14.105 per dolar AS, turun jika dibandingkan dengan penutupan sehari sebelumnya yang berada di level 14.097 per dolar AS. di pagi ini, rupiah sempat menguat ke level 13.979 per dolar AS namun kemudian terjun bebas ke level 14.142 per dolar AS.
Sedangkan berdasarkan data RTI, rupiah melemah 0,35 persen ke level 14.134 per dolar AS.
Data dari Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia, nilai tukar rupiah pada 2 September 2015 berada di level 14.127 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan 1 September 2015 yang ada di level 14.081 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah telah melemah lebih dari 12 persen.
Ekonom PT Samuel Sekuritas Rangga Cipta menjelaskan, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi yang diperkirakan naik justru turun di Agustus ini. Dampak penurunan harga minyak serta perlambatan ekonomi domestik sepertinya lebih mendominasi inflasi agustus mengungguli kenaikan harga pangan akibat musim kering.
Rupiah justru melemah merespon data inflasi walaupun mata uang lain di Asia berhasil menguat cukup signifikan terhadap dolar AS. "Cadangan devisa yang datang akhir pekan ini diperkirakan kembali turun, berpotensi meningkatkan kekhawatiran terhadap kemampuan BI mencegah depresiasi rupiah yang terlalu dalam," jelasnya.
Rupiah berpeluang kembali melemah hari ini melihat harga komoditas yang turun drastis.
Ekonom BNI Ryan Kiryanto menjelaskan, secara garis besar perekonomian Indonesia masih cukup baik jika dibandingkan dengan negara-negara lain.
Ia mencontohkan misalnya Malaysia. Negara tersebut hampir sama seperti Indonesia yang mengalami tekanan akibat penurunan harga komoditas, pelarian dana asing akibat rencana kenaikan suku bunga The Fed.
"Namun di Malaysia ada konflik politik sehingga membuat ringgit tertekan lebih dari 20 persen sedangkan rupiah hanya 12 persen jika dihitung dari awal tahun," tuturnya.
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh otoritas moneter dan fiskal pun menurut Ryan sudah sejalan dengan semangat pencegahan penurunan rupiah ke level yang lebih dalam. "BI tetap menahan BI Rate dan pemerintah mengeluarkan paket kebijakan di sisi fiskal juga," tambahnya.
Namun memang, rupiah tidak bisa selalu bertahan karena yang bermain adalah sentimen. Sama halnya yang terjadi pada saat Bank Sentral China mendevaluasi mata uang yuan sebanyak tiga kali berturut-turut dua pekan lalu.
Akibatnya, meskipun tidak ada kaitannya dengan Indonesia namun seluruh mata uang di Asia ikut melemah akibat sentimen dari pelaku pasar yang mendiskon mata uang di Asia.
Source: liputan6.com