Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) cenderung melemah pada perdagangan Selasa (20/19/2015) ini. Pelemahan tersebut dikarenakan adanya kekhawatiran pelaku pasar atas perlambatan ekonomi China yang merupakan mitra dagang terbesar bagi Indonesia.
Mengutip Bloomberg, nilai tukar rupiah berada pada kisaran level 13.633 per dolar AS pada pukul 09.58 WIB. Rupiah dibuka melemah ke level 13.646 per dolar AS dibandingkan penutupan pada Senin (19/10/2015) yang ada di angka 13.517 per dolar AS.
Sejak pagi hingga menjelang siang, nilai tukar rupiah bergerak pada kisaran 13.620 per dolar AS hingga 13.666 per dolar AS.
Sementara itu, kurs tengah atau kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI) mencatat nilai tukar rupiah melemah 71 poin menjadi 13.634 per dolar AS pada Selasa ini jika dibandingkan dengan perdagangan Senin yang berada di angka 13.563 per dolar AS.
Pada kuartal III 2015 ini, pertumbuhan ekonomi China tercatat 6,9 persen (year on year). Turun juga dibanding dengan kuartal sebelumnya yang ada di level 7 persen (year on year) namun lebih tinggi jika dibanding dengan konsensus para ekonomi yang disurvei oleh Bloomberg. Sebagian besar ekonom memperkirakan pertumbuhan ekonomi China di kuartal III 2015 kemarin ada di angka 6,8 persen.
Pertumbuhan ekonomi China pada kuartal III 2015 tersebut merupakan laju terlemah sejak dalam 5 tahun terakhir. Pada 2010 lalu, pertumbuhan ekonomi China masih berada di kisaran 12 persen. setahun kemudian mengalami terus mengalami penurunan dan pada kuartal III 2015 ini mencapai titik terendah sejak 2010. Namun sebenarnya pertumbuhan ekonomi China juga pernah berada di bawha level tersebut yaitu pada 2009 yang ada di level 3,8 persen.
Sementara itu, data pertumbuhan Industrial Production untuk September menurun menjadi 5,7 persen, di bawah perkiraan ekonom yang sebesar 6 persen. Memburuknya data ekonomi, menyebabkan penurunan terbesar dalam satu bulan terkahir pada Bloomberg Commodity Index’s, dikarenakan China adalah konsumen energi, logam dan biji-bijian terbesar di dunia.
"Pertumbuhan China lemah, berarti harga komoditas akan tetap lemah, sehingga tidak akan ada pertanda baik bagi ekspor Indonesia," kata Agus Yanuar, Presiden Direktur dan Kepala Investasi di PT Samuel Aset Manajemen. Belum adanya pertanda baik dari sisi ekspor tersebut memberikan sentimen negatif kepada nilai tukar rupiah.
"Di sisi domestik, kami sedang menunggu tanda-tanda belanja publik untuk mulai memicu investasi sektor swasta, seperti itulah yang akan menghidupkan kembali pertumbuhan ekonomi." tambah Agus.
Berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam beberapa pekan terakhir diharapkan bisa mendorong belanja dalam negeri sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi. (Ilh/Gdn)
Source: liputan6.com