Prev Mei 2015 Next
Ming Sen Sel Rab Kam Jum Sab
26 27 28 29 30 01 02
03 04 05 06 07 08 09
10 11 12 13 14 15 16
17 18 19 20 21 22 23
24 25 26 27 28 29 30
31 01 02 03 04 05 06
Berita Kurs Dollar pada hari Selasa, 12 Mei 2015
Rupiah Melemah ke Level 13.000 per Dolar AS di Awal Pekan

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah kembali ke jalur pelemahannya di kisaran 13.000 per dolar AS pada perdagangan hari ini. Penguatan dolar serta angka inflasi April yang diprediksi meningkat memang menjadi tekanan tersendiri pada nilai tukar rupiah.

Melansir data valuta asing Bloomberg, Senin (4/5/2015), nilai tukar rupiah melemah 0,56 persen ke level 13.021 per dolar AS pada perdagangan pukul 10:58 waktu Jakarta. Rupiah memang terus bergerak melemah sejak dibuka di level 12.985 per dolar AS pada perdagangan hari ini.

Sejak awal sesi pembukaan hari ini, rupiah terus berfluktuasi melemah dan berkutat di kisaran 12.985-13.030 per dolar AS.

Sementara itu, kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia mencatat nilai tukar rupiah melemah cukup signifikan hingga ke level 13.021 per dolar AS. Rupiah terkoreksi 84 poin dari perdagangan akhir pekan lalu di kisaran 12.937 per dolar AS.

Ekonom BCA David Sumual menuturkan, sentimen eksternal lebih utama berdampak ke gerak rupiah di awal pekan ini. Pelaku pasar masih melihat perkembangan negosiasi penyelesaian utang Yunani dengan Uni Eropa. Selain itu, data manufaktur Jepang dan Amerika Serikat (AS) yang stagnan membuat optimisme terhadap pertumbuhan ekonomi tertekan.

David menambahkan, klaim pengangguran Amerika Serikat (AS) yang menurun menjadi 262 ribu pada April dari targetnya 290 ribu telah memicu spekulasi baru untuk waktu percepatan kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS).

"Data klaim pengangguran turun membuat spekulasi baru percepatan kenaikan suku bunga The Fed. Mata uang emerging market pun melemah terhadap dolar AS," kata David, saat dihubungi Liputan6.com.

Menurut David, pernyataan pejabat The Fed soal data ekonomi AS bila membaik pada April dan Mei 2015 maka kemungkinan kenaikan suku bunga AS dipercepat.

Saat ditanya dampak inflasi April yang tembus 0,36 persen, David menilai, sentimen eksternal lebih mempengaruhi ketimbang internal. "Rupiah akan cenderung tertekan karena permintaan dolar AS menguat di awal bulan," kata David.

Sementara itu, minimnya data ekonomi AS yang sangat positif masih menjadi sentimen negatif pada pergerakan nilai tukar dolar AS sepanjang pekan lalu. Meski begitu memasuki pekan ini, nilai tukar dolar AS justru berbalik menguat.

Ekonom PT Samuel Sekuritas Indonesia, Rangga Cipta menuturkan, nilai tukar rupiah kini terus tertekan lantaran faktor global tersebut. Selain itu, angka inflasi pada April yang akan diumumkan hari ini diprediksi naik akibat dari kenaikkan harga BBM pada Maret.

"Tekanan inflasi yang meningkat berpeluang menambah tekanan pada nilai tukar rupiah," kata Rangga.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan laju inflasi pada April 2015 sebesar 0,36 persen. Adapun dari 82 kota IHK, 72 kota inflasi dan 10 mengalami deflasi.

Kepala BPS Suryamin di kantornya, Senin (4/5/2015) mengatakan, laju inflasi  year on year (April 2014-April 2015) tercatat mencapai 6,79 persen. Sedangkan secara tahun kalender (Maret-April 2015) terjadi deflasi sebesar 0,44 persen.

Kemudian inflasi komponen inti pada April 2015 mencapai 0,24 persen, sementara year on year mencapai 6,79 persen. (Sis/Ahm)


Source: liputan6.com
3 Tantangan Finansial yang Dihadapi Indonesia

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia merupakan negara yang sangat beruntung karena mampu menghadapi dan lolos dari krisis financial yang terjadi pada 1998 dan 2008. Meski begitu, Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk Budi Gunadi Sadikin menjelaskan, Indonesia dan beberapa negara berkembang di Asia masih menghadapi tiga tantangan besar.

"Pertama mengenai infrastruktur. Negara berkembang seperti Indonesia masih perlu melakukan percepatan pembangunan di bidang infrastruktur seperti pembangkit listrik, pelabuhan, bandar udara, yang membutuhkan investasi dalam jumlah besar," terang Budi saat memberikan sambutan di acara Institute of International Finance (IIF) Asia Summit di Jakarta, Kamis (7/5/2015).

Menurutnya, ada perbedaan jumlah anggaran yang cukup signifikan antara negara maju dan berkembang mengenai pembangunan infrastruktur. Negara-negara maju seperti Jepang menghabiskan sebagian besar pendapatan negara untuk membangun infrastruktur yang dapat menunjang pertumbuhan ekonomi negaranya. Begitu pula yang terjadi di China.

"Jadi kalau Indonesia mau mempercepat laju pertumbuhan ekonominya, maka dibutuhkan US$ 80 miliar tiap tahun utnuk membangun infrastruktur," terangnya.

Tantangan kedua yang kini dihadapi negara berkembang di Asia khususnya Indonesia, adalah akses terhadap keuangan. Budi mengatakan, banyak orang Indonesia yang tak punya akses pada pendanaan.

"Dalam 350 tahun, cuma 60 juta rakyat yang punya akses untuk pendanaan. Mungkin butuh ratusan tahun lagi, agar setiap orang bisa memiliki akses pada pendanaan. Itu terlalu lama," tuturnya.

Padahal akses pendanaan yang merata merupakan elemen penting mengingat dengan menyimpan uang di sistem perbankan, masyrakat dapat membantu membangun ekonomi. Budi bahkan menyindir, saat ini smoking inclusion lebih tinggi dibandingkan financial inclusion mengingat kemudahan akses masyarakat mendapatkan rokok.

Terakhir, Budi mengatakan, bagaimana rencana pengaturan global dapat meningkatkan peran pengusaha kecil menengah dalam menggerakan perekonomian negara. Terlebih lagi mengingat peran Asia sebagai penggerak ekonomi global.

"Kredit untuk pengusaha kecil dan menengah, pendanaan untuk pengusaha kecil dan menengah. Itu yang akan kami bahas," tandasnya. (Sis/Gdn)


Source: liputan6.com