Prev Maret 2015 Next
Ming Sen Sel Rab Kam Jum Sab
01 02 03 04 05 06 07
08 09 10 11 12 13 14
15 16 17 18 19 20 21
22 23 24 25 26 27 28
29 30 31 01 02 03 04
05 06 07 08 09 10 11
Berita Kurs Dollar pada hari Minggu, 29 Maret 2015
Ekonom: Jika Fundamental Baik, Pelemahan Rupiah Tak Dalam

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom melihat pelemahan nilai tukar rupiah lebih disebabkan oleh faktor dari luar yaitu rencana Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) untuk melakukan pengetatan kebijakan moneter. Namun memang, seharusnya jika fundamental RI baik, pelemahan rupiah tidak akan terlalu dalam jika dibanding dengan negara-negara lain.

Ekonom PT Bank Sentral Asia Tbk (BCA), David Sumual menjelaskan, rupiah bukan satu-satunya mata uang yang melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Beberapa mata uang negara lain juga mengalami pelemahan yang cukup.

Ia mencontohkan, pelemahan yen terhadap dolar AS pada tahun lalu mencapai 20 persen." Euro bahkan lebih dalam lagi, belum lagi negara Afrika Selatan dan Rusia," jelasnya dalam acara Bincang Senator dengan tema `Gejolak dan Masa Depan Rupiah` di kawasan Senayan, Jakarta Selatan, Minggu (29/3/2015).

Pelemahan hampir seluruh mata uang dunia terhadap dolar AS tersebut karena saat ini The Fed sedang menjalankan kebijakan pengetatan moneter. Kejadian ini berkebalikan dengan 2008 hingga 2012 dimana The Fed menjalankan kebijakan moneter yang longgar. "Apalagi dalam waktu dekat The Fed akan menaikkan suku bunga, pelemahan bisa lebih dalam lagi" tambahnya.



David melanjutkan, seharusnya pelemahan rupiah bisa tidak terlalu dalam jika fundamental ekonomi dalam negeri cukup baik. Defisit transaksi berjalan cukup besar. BI mencatat defisit transaksi berjalan pada 2014 kemarin sebesar US$ 26,2 miliar atau 2,95 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, level tersebut mengalami penurunan. Di 2013, defisit transaksi berjalan Indonesia mencapai US$ 29,1 miliar atau 3,18 persen dari  PDB.

Selain itu, utang luar negeri milik pemerintah, Bank Indonesia maupun swasta juga terus meningkat. Sebagain contoh,  pada Januari 2008, utang luar negeri swasta tercatat US$ 60 miliar. Jumah tersebut menjadi US$ 182 miliar tujuh tahun kemudian. Angka ini melampaui ULN pemerintah dan BI yang tercatat US$ 136 miliar. "Selain itu, ekspor terus mengalami penurunan," tambahnya.

Untuk diketahui, berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia, nilai tukar rupiah menunjukkan pelemahan pada Jumat (29/3/2015). Rupiah melemah dari 13.003 per dolar AS pada perdagangan sebelumnya menjadi 13.064 per dolar AS. (Fik/Gdn)


Source: liputan6.com
Rupiah Tembus 13.000 per Dolar AS karena BI Kurang Peka

Liputan6.com, Jakarta - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI menyatakan keprihatinannya atas nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang sempat menembus level Rp 13.000 per dolar Amerika Serikat (AS). Pihaknya menilai pemerintah dan Bank Indonesia (BI) kurang peka terhadap pergerakan kurs yang sudah memberi sinyal pelemahan sejak akhir 2013.

Demikian disampaikan Anggota DPD RI 2014-2019, Ajiep Padindang saat Diskusi Bincang Senator 2015 "Gejolak dan Masa Depan Rupiah" di Brewerkz Restaurant & Bar, Jakarta, Minggu (29/3/2015).

Ajiep dari Komite IV DPD mengaku pernah mengglar rapat kerja dengan Gubernur BI Agus Martowardojo dan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro pada akhir Februari lalu. DPD mengingatkan bahwa kurs rupiah berpotensi tembus Rp 13.000 per dolar AS.

"Tapi respons Gubernur BI kurang peka. Bahkan pada rapat saat itu, pemerintah tidak punya kebijakan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah meski ada peluang rupiah bergerak Rp 14.000 per dolar AS," ujar dia.

Hingga akhirnya pemerintah dan BI, kata Ajiep, tetap mematok nilai tukar rupiah Rp 12.500 per dolar AS dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015. "Tapi justru Gubernur BI salah. Kami yang melakukan kajian budget office penyelenggaraan keuangan merasa prihatin dan khawatir dengan kondisi tersebut," paparnya.

Lalu apa dampaknya? Kata Ajiep, akibat pelemahan kurs rupiah, masyarakat terkena imbasnya seperti kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) Premium dan Solar per 1 April ini. Padahal harga minyak dunia tidak mengalami kenaikan cukup signifikan.

"Dampaknya BBM jadi naik akibat kurs dan masih akan ada dampak lainnya. Apa kebijakan pemerintah yang bisa secara signifikan menguatkan kurs rupiah, selain dari intervensi jangka pendek oleh BI dengan menguras cadangan devisa," pungkas dia.



Tak sendiri
Ekonom PT Bank Sentral Asia Tbk (BCA), David Sumual menjelaskan, rupiah bukan satu-satunya mata uang yang melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Beberapa mata uang negara lain juga mengalami pelemahan yang cukup.

Ia mencontohkan, pelemahan yen terhadap dolar AS pada tahun lalu mencapai 20 persen." Euro bahkan lebih dalam lagi, belum lagi negara Afrika Selatan dan Rusia," jelasnya dalam acara Bincang Senator dengan tema `Gejolak dan Masa Depan Rupiah` di kawasan Senayan, Jakarta Selatan, Minggu (29/3/2015).

Pelemahan hampir seluruh mata uang dunia terhadap dolar AS tersebut karena saat ini The Fed sedang menjalankan kebijakan pengetatan moneter. Kejadian ini berkebalikan dengan 2008 hingga 2012 dimana The Fed menjalankan kebijakan moneter yang longgar. "Apalagi dalam waktu dekat The Fed akan menaikkan suku bunga, pelemahan bisa lebih dalam lagi" tambahnya.

Ekonom PT Bank Sentral Asia Tbk (BCA), David Sumual menjelaskan, rupiah bukan satu-satunya mata uang yang melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Beberapa mata uang negara lain juga mengalami pelemahan yang cukup.

Ia mencontohkan, pelemahan yen terhadap dolar AS pada tahun lalu mencapai 20 persen." Euro bahkan lebih dalam lagi, belum lagi negara Afrika Selatan dan Rusia," jelasnya dalam acara Bincang Senator dengan tema `Gejolak dan Masa Depan Rupiah` di kawasan Senayan, Jakarta Selatan, Minggu (29/3/2015).

Pelemahan hampir seluruh mata uang dunia terhadap dolar AS tersebut karena saat ini The Fed sedang menjalankan kebijakan pengetatan moneter. Kejadian ini berkebalikan dengan 2008 hingga 2012 dimana The Fed menjalankan kebijakan moneter yang longgar. "Apalagi dalam waktu dekat The Fed akan menaikkan suku bunga, pelemahan bisa lebih dalam lagi" tambahnya.

David melanjutkan, seharusnya pelemahan rupiah bisa tidak terlalu dalam jika fundamental ekonomi dalam negeri cukup baik. Defisit transaksi berjalan cukup besar. BI mencatat defisit transaksi berjalan pada 2014 kemarin sebesar US$ 26,2 miliar atau 2,95 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, level tersebut mengalami penurunan. Di 2013, defisit transaksi berjalan Indonesia mencapai US$ 29,1 miliar atau 3,18 persen dari  PDB.

Selain itu, utang luar negeri milik pemerintah, Bank Indonesia maupun swasta juga terus meningkat. Sebagain contoh,  pada Januari 2008, utang luar negeri swasta tercatat US$ 60 miliar. Jumah tersebut menjadi US$ 182 miliar tujuh tahun kemudian. Angka ini melampaui ULN pemerintah dan BI yang tercatat US$ 136 miliar. "Selain itu, ekspor terus mengalami penurunan," tambahnya. (Fik/Gdn)


Source: liputan6.com
Repatriasi Dividen Semakin Menekan Rupiah

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom memperkirakan sampai tengah tahun ini nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih akan tertekan cukup dalam. Salah satu penyebabnya adalah adanya repatriasi dividen dari perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia.

Ekonom PT Bank Sentral Asia Tbk (BCA), David Sumual memperkirakan, nilai tukar rupiah tidak akan menguat hingga semester I 2015 ini. Bahkan ia melihat bahwa kemungkinan besar nilai tukar rupiah akan tertekan lebih dalam.

Penyebab utamanya adalah adanya repatriasi dividen atau pembagian dividen sejumlah perusahaan asing yang menanamkan modalnya di Indonesia kepada pemegang saham di luar negeri sehingga mengakibatkan larinya modal keluar (capital outflow).

"Repatriasi dividen tersebut membuat tekanan terhadap neraca pendapatan pada kuartal II lebih besar lagi sehingga rupiah bisa melemah," tuturnya saat Diskusi Bincang senator 2015 "Gejolak dan Masa Depan Rupiah" di Brewerkz Restaurant & Bar, Jakarta, Minggu (29/3/2015).

Menurut David, pemerintah memang telah mencegah terjadinya repatriasi dividen tersebut dengan memberikan insentif. Namun menurutnya, insentif tersebut kurang dalam. pemerintah memberikan insentif berupa penghapusan pajak penghasilan (PPh) atas dividen bagi investor yang menginvestasikan kembali hasil keuntungannya menjadi modal di Indonesia.

Sebelumnya, pemerintah mengenakan PPh final atas dividen sebesar 10 persen yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 2009 tentang pajak penghasilan atas dividen yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri. Dengan insentif tersebut, pemerintah menghapus PPh final atas dividen ini menjadi 0 persen.

Sudah Menduga
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)  2014-2019, Ajiep Padindang pun prihatin dengan pelemahan rupiah ke level Rp 13.000 per dolar AS. Pihaknya menilai pemerintah dan Bank Indonesia (BI) kurang peka terhadap pergerakan kurs yang sudah memberi sinyal pelemahan sejak akhir 2013.

Ajiep mengaku pernah mengglar rapat kerja dengan Gubernur BI Agus Martowardojo dan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro pada akhir Februari lalu. DPD mengingatkan bahwa kurs rupiah berpotensi tembus Rp 13.000 per dolar AS.

"Tapi respons Gubernur BI kurang peka. Bahkan pada rapat saat itu, pemerintah tidak punya kebijakan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah meski ada peluang rupiah bergerak Rp 14.000 per dolar AS," ujar dia.

Hingga akhirnya pemerintah dan BI, kata Ajiep, tetap mematok nilai tukar rupiah Rp 12.500 per dolar AS dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015. "Tapi justru Gubernur BI salah. Kami yang melakukan kajian budget office penyelenggaraan keuangan merasa prihatin dan khawatir dengan kondisi tersebut," paparnya. (Fik/Gdn)


Source: liputan6.com
Bahaya Jika Pelemahan Rupiah Terus Berlarut-larut

Liputan6.com, Jakarta - Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sejak akhir 2014 lalu semakin memberi rasa pesimistis dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dan kalangan pengusaha. Kondisi tersebut dianggap sudah mengganggu perekonomian Indonesia dan menghantam pelaku usaha kecil menengah (UKM).

Anggota DPD RI dari Sulawesi Selatan, Ajiep Padindang menyatakan, volatilitas kurs rupiah telah berlangsung lama sehingga menahan seseorang yang memiliki dolar AS karena nilainya kini sangat menggiurkan.

"Pada dasarnya sudah sangat mengganggu apalagi kalau berlarut-larut karena akan memberi dampak. Seseorang yang pegang dolar AS banyak tidak mau dilepas," papar dia saat Diskusi Bincang senator 2015 "Gejolak dan Masa Depan Rupiah" di Brewerkz Restaurant & Bar, Jakarta, Minggu (29/3/2015).

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Industri (Kadin) DKI Jakarta, Sarman Simanjorang menambahkan, terpuruknya nilai tukar rupiah telah mencekik UKM yang sebagian besar mengandalkan bahan baku dari impor.

"Buat pengusaha memang sudah mengganggu. Contohnya, pengusaha sarung terpaksa menurunkan separuh atau 50 persen dari produksinya karena 75
persen bahan bakunya dari impor," jelasnya.

Contoh lain, kata Sarman, pengusaha tempe ikut menyusutkan besaran produksi tempe karena bahan baku kedelai berasal dari negara lain. Termasuk perusahaan farmasi yang akan kewalahan dengan hantaman pelemahan kurs mengingat porsi 94 persen hingga 95 persen bahan baku obat dibeli dari luar negeri.

"Jadi pelemahan sudah sangat mengganggu. Tapi pemerintah cuma bilang jangan panik, dan kami sudah bertahan supaya tidak panik. Kalau dolar menguat terus bagaimana kami tidak panik," keluh dia.

Pasalnya, sambung Sarman, kondisi sulit yang dihadapi UKM berujung pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebagai langkah efisiensi perusahaan. Bukan hal mustahil, PHK juga dilakukan korporasi besar yang tidak kuat menanggung pelemahan kurs rupiah.

"Pengusaha sarung yang mengurangi produksi sampai 50 persen dapat memangkas jumlah tenaga kerja alias PHK. Jadi pengusaha akan melakukan itu sampai rupiah kembali stabil," ucapnya.

Dia berharap, investor Jepang dan China dapat merealisasikan rencana penanaman modal di Indonesia yang sudah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam kunjungannya belum lama ini.

"Waktu Pak Jokowi ke Jepang sudah ada komitmen investasi Rp 15 triliun. Mudah-mudahan saja bisa cepat terealisasi, supaya produk mereka yang diekspor dari investasi di sini dapat memperkuat kinerja ekspor," cetus Sarman. (Fik/Gdn)


Source: liputan6.com
4 Faktor Fundamental yang Bikin Rupiah Terus Jeblok

Liputan6.com, Jakarta - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyebutkan ada 4 faktor fundamental yang merusak nilai tukar rupiah. Jika faktor tersebut tak diperbaiki maka rupiah bakal terus terombang-ambing.

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia, Natsir Mansyur menjelaskan, pelemahan rupiah terjadi karena pemerintah tidak pernah membenahi 4 faktor fundamental perekonomian. "Kami sering sampaikan hal tersebut kepada pemerintah tapi tak pernah ada perubahan sampai kami apatis," jelasnya dalam Diskusi Bincang senator 2015 "Gejolak dan Masa Depan Rupiah" di Brewerkz Restaurant & Bar, Jakarta, Minggu (29/3/2015).

Faktor pertama adalah impor bahan baku untuk industri manufaktur yang mencapai 75 persen. Selama ini pemerintah tidak pernah membenahi industri hulu sehingga industri manufaktur selalu mengimpor bahan baku. Program -program hilirisasi yang didengungkan oleh pemerintah tidak pernah berjalan sesuai dengan rencana.

"Hilirisasi mineral tidak jalan, pengembangan industri petrokimia juga tidak jalan," jelasnya. Seharusnya, industri bahan baku dikembangkan sehingga impor bbahan baku tidak lagi tinggi.

Faktor kedua adalah impor minyak dan gas (migas) yang cukup tinggi. Selama ini, untuk mencukupi kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) nasional, pemerintah terus melakukan impor. Rasio impor dibanding dengan produksi dalam negeri mencapai 70 persen berbanding 30 persen. Berbalik dengan 20 tahun lalu yang impor hanya 30 persen dan produksi dalam negeri mencapai 70 persen.



Faktor ketiga adalah pengembangan industri pangan yang tidak maksimal. untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional, porsi impor mencapai 65 persen dibanding dengan produksi dalam negeri.

Menurut Natsir, lahan pertanian di Indonesia yang sangat luas seharus bisa menjadi dasar untuk pengembangan industri pangan. Namun selama ini ternyata empat bahan utama yaitu beras, kedelai, gula dan jagung sebagian besar impor.  "Belum lagi merica, bawang putih, bawang merah, bahkan sekarang industri waralaba makanan dari luar sudah masuk ke Indonesia," tambahnya.

Faktor keempat adalah sebagian besar industri jasa masih bertumpu kepada dolar untuk bertransaksi. "Contohnya pesawat terbang itu semua biayanya menggunakan dolar AS dan kita membeli tiket mengggunakan rupiah. Itu juga membuat depresiasi tinggi," tuturnya.

Faktor fundamental tersebut membuat neraca perdagangan Indonesia selalu defisit dan akibatnya nilai tukar rupiah terus-menerus tertekan. Oleh sebab itu, jika pemerintah bisa memperbaiki keempat faktor tersebut maka nilai tukar rupiah bisa membaik. (Fik/Gdn)



Source: liputan6.com
Rupiah Masih Keok, DPD Panggil Menkeu & Gubernur BI Pekan Depan

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan perdagangan Jumat lalu (27/3) kembali melemah di angka Rp 13.064 per dolar Amerika Serikat (AS). Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menilai kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) untuk stabilisasi nilai tukar kurang optimal.

Anggota DPD RI 2014-2019, Ajiep Padindang mengatakan, DPD sebagai lembaga negara harus mengawal keamanan uang negara termasuk rupiah. Ini sangat krusial karena menyangkut perekonomian Indonesia ke depan.

Komite IV dalam menjalankan peran dan fungsinya, kata dia, terus melakukan kajian dengan melibatkan banyak pakar dan setiap saat merilis rekomendasi yang dapat dijadikan pertimbangan pemerintah dalam mengambil setiap kebijakan lebih lanjut.

"Minggu depan sudah kami agendakan berbicara serius dengan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro dan Gubernur BI Agus Martowardojo," tutur Ajiep saat Diskusi Bincang senator 2015 "Gejolak dan Masa Depan Rupiah" di Brewerkz Restaurant & Bar, Jakarta, Minggu (29/3/2015).

Dia menyoroti kinerja BI yang terlalu menonjol pada intervensi rupiah di pasar jika terjadi pelemahan nilai tukar rupiah. Sayangnya kurang maksimal dalam menjalankan fungsi pengendalian dan pengawasan kepada lembaga keuangan dan pelaku usaha yang menggenggam dolar AS.

"Ini jadi satu pertanyaan mengapa? Padahal BI diberikan fungsi pengawasan dan pengendalian karena sistem keuangan Indonesia yang bebas. Pengusaha bebas mempunyai uang dalam mata uang apapun, termasuk keluar masuk memarkirkan devisanya (devisa bebas)," paparnya.

Dengan begitu, Ajieb mengaku, rezim devisa bebas dan melepas kurs rupiah ke pasar justru tidak mempengaruhi neraca perdagangan maupun neraca transaksi berjalan. Malahan aturan ini mengambang pada belanja modal dan jasa.

"Memang sangat sulit mengendalikan dolar AS, tapi BI kan ada pengawasan dan pengendalian semua transaksi pakai dolar AS. Tidak mungkin juga kita membatasi kegiatan transaksi investor," tutur dia.

Sudah Berdampak

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Industri (Kadin) DKI Jakarta, Sarman Simanjorang menambahkan, terpuruknya nilai tukar rupiah telah mencekik UKM yang sebagian besar mengandalkan bahan baku dari impor.

"Buat pengusaha memang sudah mengganggu. Contohnya, pengusaha sarung terpaksa menurunkan separuh atau 50 persen dari produksinya karena 75
persen bahan bakunya dari impor," jelasnya.



Contoh lain, kata Sarman, pengusaha tempe ikut menyusutkan besaran produksi tempe karena bahan baku kedelai berasal dari negara lain. Termasuk perusahaan farmasi yang akan kewalahan dengan hantaman pelemahan kurs mengingat porsi 94 persen hingga 95 persen bahan baku obat dibeli dari luar negeri.

"Jadi pelemahan sudah sangat mengganggu. Tapi pemerintah cuma bilang jangan panik, dan kami sudah bertahan supaya tidak panik. Kalau dolar menguat terus bagaimana kami tidak panik," keluh dia.

Pasalnya, sambung Sarman, kondisi sulit yang dihadapi UKM berujung pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebagai langkah efisiensi perusahaan. Bukan hal mustahil, PHK juga dilakukan korporasi besar yang tidak kuat menanggung pelemahan kurs rupiah.

"Pengusaha sarung yang mengurangi produksi sampai 50 persen dapat memangkas jumlah tenaga kerja alias PHK. Jadi pengusaha akan melakukan itu sampai rupiah kembali stabil," ucapnya. (Fik/Gdn)


Source: liputan6.com