Prev Maret 2015 Next
Ming Sen Sel Rab Kam Jum Sab
01 02 03 04 05 06 07
08 09 10 11 12 13 14
15 16 17 18 19 20 21
22 23 24 25 26 27 28
29 30 31 01 02 03 04
05 06 07 08 09 10 11
Berita Kurs Dollar pada hari Selasa, 03 Maret 2015
Rupiah Masih Berkutat di Kisaran 12.900 per Dolar

Liputan6.com, Jakarta Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat realisasi deflasi pada Februari 2015 sebesar 0,36 persen. Angka tersebut merupakan level tertinggi kedua dalam kurun waktu 50 tahun terakhir. Kondisi ini menjadi salah satu sentimen yang membuat rupiah menguat tipis pada perdagangan hari ini.

Data Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia, Selasa (3/3/2015), menunjukkan nilai tukar rupiah menguat 31 poin ke level 12.962 per dolar AS. Pada perdagangan sebelumnya, nilai tukar rupiah melemah signifikan ke kisaran 12.993 per dolar AS.

Sementara itu, data valuta asing Bloomberg mencatat nilai tukar rupiah menguat 0,5 persen ke level 12.958 per dolar AS pada perdagangan 9:44 waktu Jakarta. Di sesi pembukaan, nilai tukar rupiah tercatat sempat berada di level 12.999 per dolar AS.

Rupiah menguat tipis setelah pada perdagangan sebelumnya menembus level 13.000 per dolar AS. Angka tersebut nyaris menyentuh level terlemah dalam 17 tahun terakhir. Hingga menjelang siang, nilai tukar rupiah masih berkutat di kisaran 12.950 per dolar AS - 12.999 per dolar AS.

Ekonom Bank Central Asia Tbk (BCA), David Sumual menjelaskan, untuk Februari kemarin BPS mencatat terjadi deflasi sebesar 0,36 persen. Dengan realisasi deflasi tersebut memicu ekspektasi dari pelaku pasar bahwa Bank Indonesia akan menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) pada Rapat Dewan Gubernur yang akan berlangsung pada pertengahan Maret ini. 

Pada Februari kemarin, Bank Indonesia telah menurunkan BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 7,5 persen dengan asumsi  bahwa inflasi akan tetap terkendali dan rendah sehingga berada di kisaran bawah sasaran 4 persen pada 2015 dan 2016. Selain itu, kebijakan penurunan BI Rate tersebut juga masih sejalan dengan upaya Bank Indonesia untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan.

Dengan ekpektasi pelaku pasar bahwa akan terjadi penurunan BI Rate tersebut, rupiah akhirnya menguat tipis ke kisaran 12.900 per dolar AS pada perdagangan hari ini.

Namun, David menilai bahwa kondisi eksternal atau dari pasar global masih menjadi tantangan berat untuk rupiah. Pertumbuhan ekonomi di beberapa negara yang mata uangnya menjadi acuan tumbuh sehingga tekanan kepada nilai tukar rupiah masih tetap besar.

"Kalau dilihat, market global saat ini tercatat positif dengan indeks manufaktur Amerika Serikat dan China yang melampaui ekspektasi. People`s Bank of China juga turunkan suku bunganya kemarin, itu pengaruh juga pada pergerakan rupiah," terangnya saat berbincang dengan Liputan6.com, Selasa (3/3/2015).

Oleh karena itu, David melihat dengan pasar global yang tumbuh positif tersebut rupiah akan berkutat di kisaran 12.900 per dolar AS - 13.000 per dolar AS. (Sis/Gdn)

 


Source: liputan6.com
Rupiah Anjlok, Perum Perhutani Justru Tuai Untung

Liputan6.com, Jakarta - Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak selalu berdampak buruk bagi industri dalam negeri. Sebagai pelaku ekpor, Perum Perhutani justru merasa diuntungkan.

Direktur Utama Perum Perhutani Mustoha Iskandar mengungkapkan dengan pelemahan rupiah yang sempat menyentuh level 13.000 per dolar AS, hal itu tidak mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan.
Source: liputan6.com
China Pangkas Suku Bunga, RI Kena Getahnya
Pemerintah menyatakan, penurunan suku bunga acuan Bank Sentral China memberi dampak positif dan negatif bagi Indonesia. Imbas negatifnya, nilai tukar rupiah tertekan dan ada peluang investasi menguntungkan sebagai dampak positif kebijakan tersebut. 
Source: liputan6.com
Selagi Deflasi, BI Diminta Pangkas BI Rate

Liputan6.com, Jakarta - ‎Realisasi deflasi dalam dua bulan berturut-turut pada awal tahun ini dapat menjadi pertimbangan Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga acuan (BI Rate). BI diimbau tidak melewatkan momentum baik ini untuk mengambil kebijakan tersebut sebelum kemungkinan inflasi datang kembali.

Ekonom dari Center Of Reform On Economics (CORE) Indonesia, Akhmad Akbar Susanto mengatakan, penurunan BI Rate merupakan sebuah langkah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja.

"Mumpung deflasi Januari dan Februari ini, diharapkan BI menimbang supaya suku bunga turun. Jadi bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja lebih banyak. Memacu juga investasi ketimbang menabung," terang dia di acara Diskusi Publik, Jakarta, Selasa (3/3/2015).

Terkait imbas penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) Premium sebesar Rp 200 menjadi Rp 6.800 per liter, kata Akhmad, akan menyumbang inflasi di Maret 2015 meski porsinya hanya kecil. Jika bulan ketiga ini, Indonesia mengecap inflasi, maka momentum BI untuk memangkas suku bunga sudah lewat.

"Penaikannya kan tidak besar, jadi kalaupun inflasi di Maret akan ringan. Jadi momentum deflasi tidak panjang, dan kalau sudah lewat, BI susah lagi menurunkan BI Rate. Karena BI Rate yang tinggi tidak ramah untuk pelaku usaha," tutur dia.

Sementara pemerintah, lanjut Akhmad, ingin memacu sektor industri manufaktur, padat karya demi menyerap tenaga kerja lebih banyak. Dengan demikian, katanya, pengusaha membutuhkan bunga yang kompetitif dan insentif fiskal.

Untuk diketahui, pada Rapat Dewan Gubernur yang berlangsung pada pertengahan Februari 2015 lalu Bank Indonesia telah menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 7,5 persen. Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardjojo menjelaskan, kebijakan tersebut diambil dengan keyakinan inflasi akan tetap terkendali dan rendah sehingga berada di kisaran bawah sasaran 4 persen pada 2015 dan 2016.

Kebijakan penurunan tersebut juga dianggap masih sejalan dengan upaya BI untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan pada tingkat yang lebih sehat.

BI melihat bahwa dengan disetujuinya APBN-P 2015, paket stimulus fiskal dan langkah-langkah kebijakan reformasi struktural yang ditempuh Pemerintah akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkualitas.

Ke depan, Bank Indonesia akan terus memperkuat bauran kebijakan moneter dan makroprudensial, serta meningkatkan koordinasi dengan Pemerintah untuk memastikan bahwa inflasi akan tetap rendah dan defisit transaksi berjalan terjaga pada tingkat yang lebih sehat. (Fik/Gdn)


Source: liputan6.com
Rupiah Jebol, Investor Bakal Hengkang dari RI?

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang sempat menembus level Rp 13.000 dinilai akan membuat kekhawatiran investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Aliran modal  yang  masuk terancam keluar lagi.

Ekonom dari Center Of Reform On Economics (CORE) Akhmad Akbar Susanto mengungkapkan, pelemahan nilai tukar rupiah akan menguntungkan ekspor Indonesia karena diiringi penurunan laju impor. Sayangnya ada dampak negatif akibat depresiasi tersebut.

"Nilai kurs yang tinggi membuat sebagian investor akan keluar, uang (yang masuk) akan keluar. Tapi saya nggak bisa bilang berapanya," ujar dia kepada wartawan di Jakarta, Selasa (3/3/2015).

Level Rp 13.000 per dolar AS, menurut Akhmad sudah tidak wajar mengingat nilai tukar rupiah menembus angka itu terakhir pada 1999. Sayangnya, dia enggan menjelaskan tren kurs rupiah ke depan. "Kalau melihat sejarahnya sih sudah tidak wajar. ‎Nggak terlalu objektif," pungkas dia.

Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla sebelumnya mengungkapkan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terjadi belakangan ini tidak perlu dikhawatirkan. Menurutnya, pelemahan rupiah sangat baik untuk mendukung ekspor nasional.

"Kalau rupiah melemah, berarti Ekspornya bagus, pendapatan rakyat lebih banyak ekspor, impornya akan lebih sulit," jelasnya.

Ia pun menjelaskan, pelemahan rupiah saat ini tidak hanya dialami oleh Indonesia saja tetapi juga beberapa negara lain. Pelemahan rupiah di hari ini lebih banyak disebabkan oleh penurunan suku bunga acuan oleh Bank Central China.

Penurunan suku bunga tersebut membuat nilai tukar yuan melemah sehingga menopang penguatan dolar AS sehingga menekan rupiah. Selain itu, kondisi di Eropa juga membuat penguatan dolar AS sehingga menekan rupiah.

"Ya itu kan hubungannya dengan ekonomi China, Eropa, macam-macam pengaruhnya. Eropa melemah karena Yunani, Spanyol, akibatnya dolar menguat," tuturnya. (Fik/Ndw)

 

 


Source: liputan6.com