Prev Juni 2015 Next
Ming Sen Sel Rab Kam Jum Sab
31 01 02 03 04 05 06
07 08 09 10 11 12 13
14 15 16 17 18 19 20
21 22 23 24 25 26 27
28 29 30 01 02 03 04
05 06 07 08 09 10 11
Berita Kurs Dollar pada hari Senin, 08 Juni 2015
Rupiah Dekati Level Terendah dalam 17 Tahun

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tercatat terus melemah hingga mendekati ke posisi terendah dalam 17 tahun terakhir pada perdagangan Senin (8/6/2015). Pelemahan rupiah terjadi karena adanya sentimen regional yaitu rencana kenaikan suku bunga Bank Sentral AS (The Fed).

Melansir data valuta asing Bloomberg, nilai tukar rupiah melemah 0,80 persen persen ke level 13.396 per dolar AS setelah ditutup di level 13.290 per dolar AS pada perdagangan pekan kemarin. Di sesi awal perdagangan, nilai tukar rupiah masih berfluktuasi melemah di kisaran 13.348 per dolar AS hingga 13.400 per dolar AS.

Indeks Bloomberg mencatat, dalam tiga bulan terakhir nilai tukar rupiah terhadap dolar AS telah melemah 5,6 persen. Nilai tukar rupiah mengalami pelemahan terburuk jika dibandingkan dengan mata uang negara-negara berkembang lainnya.

Sementara, Kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia, Senin (8/6/2015), mencatat nilai tukar rupiah melemah ke level 13.360 per dolar AS. Di akhir pekan lalu, rupiah masih di level 13.288 per dolar AS.

Sebagian besar analis yang disurvei Bloomberg bahkan mengatakan, rupiah dapat melemah lebih parah ke kisaran 13.500 per dolar AS pada akhir tahun nanti. Angka tersebut merupakan level terendah dalam 17 tahun terakhir sejak Agustus 1998, saat Indonesia terkena krisis finansial.

Negara-negara berkembang seperti Indonesia memang sangat rentan dengan adanya isu kenaikan suku bunga AS. Pasalnya, banyak dana-dana dari negara maju lari ke Indonesia saat perekonomian negara tersebut sedang mengalami kemunduran.

"Ketika ada sentimen dari risiko-risiko pembalikan dana sudah terlihat, negara seperti indonesia lebih rentan," jelas Analis Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ Ltd, Singapura, Teppei Ino.

Pelaku pasar melihat bahwa perekonomian di Amerika terus mengalami perbaikan. Angka tenaga kerja AS naik dari 119 ribu pada Maret 2015 menjadi 221 ribu pada April 2015. Peningkatan itu menandai cepatnya laju lowongan kerja baru yang disediakan oleh perusahaan-perusahaan di AS.

Kenaikan tersebut pernah juga terjadi pada akhir 2014 namun di awal tahun ini kembali melemah yang membuat pelaku pasar memperkirakan bahwa The Fed batal untuk menaikkan suku bunga. Sebelumnya, tingkat pengangguran pernah mencapai level 5,5 persen.

Dengan membaiknya data tenaga kerja tersebut, sentimen bahwa The Fed akan segera menaikkan suku bunganya tahun ini kembali muncul. Kemungkinan besar setelah bulan Juni 2015.

Ekonom PT Samuel Sekuritas, Rangga Cipta menambahkan, sentimen dari dalam negeri juga ikut menekan rupiah. Angka inflasi di Mei 2015 kemarin yang mengalami kenaikan membuat pelaku pasar melihat bahwa kemungkinan besar Bank Indonesia akan kembali menaikkan suku bunga acuan (BI Rate).

Kenaikan suku bunga tersebut bertentangan dengan rencana mendorong pertumbuhan ekonomi karena dengan suku bunga acuan yang tinggi maka bunga kredit bank juga ikut melambung sehingga sektor riil sulit bergerak. (Gdn/Ndw)


Source: liputan6.com
BI: Nilai Tukar Rupiah di Kisaran 13.400 per Dollar AS pada 2016

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) memperkirakan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) berada di kisaran 13.000 per dolar AS hingga 13.400 per dollar AS pada 2016. Tekanan terhadap rupiah akan lebih banyak dari faktor eksternal.

Gubernur BI, Agus Martowardojo menjelaskan, sentimen global menjadi penekan nilai tukar rupiah. Seperti tahun ini, pelemahan rupiah lebih banyak disebabkan oleh sentimen dari perbaikan ekonomi di Amerika Serikat yang berimplikasi pada penguatan dollar AS secara luas. Perbaikan ekonomi Amerika membuat dana-dana yang tadinya masuk ke negara berkembang seperti Indonesia ditarik kembali.

"Eksternal, didorong penguatan dollar AS. Kebijakan quantitave easing yang ditempuh bank sentral Eropa. Kemudian kekhawatiran negosiasi fiskal dari Yunani," ujar Agus di depan anggota Komisi XI DPR RI, Senin (8/6/2015). Agus menjelaskan, Sejak awal tahun hingga 5 Juni 2015, rupiah melemah 6,71 persen. 

Namun demikian, pelemahan rupiah tidak akan terlalu tajam. Hal tersebut terjadi karena prospek perekonomian Indonesia cukup baik seiring langkah pemerintah memaksimalkan anggaran untuk membangun infrastruktur. Perbaikan infrastruktur akan mendorong investasi asing masuk ke Indonesia sehingga masuknya dana-dana tersebut akan mengimbangi keluarnya dana asing.

Untuk pertumbuhan ekonomi, BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia di kisaran 5,4 persen sampai 5,8 persen. "Untuk 2016, BI memperkirakan pertumbuhan akan membaik, proses perbaikan ekonomi global khsususnya ekonomi maju, pertumbuhan dunia diperkirakan 3,8 persen lebih tinggi jika dibanidng 2015 yang 3,4 persen. Ini terdampak perbaikan komoditas dunia,"ujarnya.

Sedangkan untuk laju inflasi BI dan pemerintah sepakat di angka 4 plus minus 1 persen. "Tahun 2016 dengan berbagai kebijakan inflasi pada rentan 4 plus minus 1," tandas dia.

Target pertumbuhan ekonomi BI memang sedikit berbeda dengan pemerintah. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyampaikan asumsi makro ekonomi 2016 dipatok sebesar 5,8 persen sampai 6,2 persen. Angka ini bersifat dinamis yang artinya ada kemungkinan bisa berubah di kemudian hari.

"Kami ajukan pertumbuhan ekonomi pada range 5,8 persen sampai 6,2 persen. Tentunya akan menjadi perdebatan karena melihat perlambatan di triwulan I tahun 2015. Tentu nantinya bisa didiskusikan lebih lanjut bahwa yang namanya estimasi bersifat dinamis," jelas  Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro. (Amd/Gdn)


Source: liputan6.com
Dolar Perkasa, BI Khawatir Terjadi Perang Mata Uang

Liputan6.com, Jakarta - Rencana Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed untuk menaikan suku bunga acuan pada semester II 2015 memicu penguatan nilai tukar dollar Amerika Serikat (AS) terhadap sejumlah mata uang lainnya. Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengakui, penguatan mata uang negara adidaya tersebut menjadi kekhawatiran sendiri bagi BI.

Agus menjelaskan, penguatan dollar AS bisa menimbulkan perang mata uang (currency war) antara satu negara dengan negara lain. Peluang perang suku bunga akan lebih besar jika kenaikan suku bunga The Fed dilakukan secara bertahap.

"Justru yang saya lihat, tiga tahun ke depan akan terus ada currency war karena kalau program peningkatan bunga berjalan berkala akan berdampak ke mata uang negara lain. Mata uang negara lain antara satu dengan lain akan menjaga posisi kompetitif mata uangnya, tentu perlu kami antisapasi," kata dia di DPR, Jakarta, Senin (8/6/2015).

Lebih lanjut, Agus bilang setiap negara akan berlomba-lomba membuat nilai tukarnya lebih kompetitif sehingga bisa meningkatkan ekspor dan diharapkan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi. "Jadi, ada negara yang menawarkan 1 persen, padahal di negara lain bisa 2 persen hingga 3 persen. Dinamika tersebut yang perlu kita hadapi," paparnya.

Melihat kondisi tersebut, Agus menuturkan langkah utama untuk menghadapi perang mata uang adalah menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. "Justru saya katakan yang kita jaga stabilitas nilai rupiah. Namun kalau ada tekanan eksternal ya kita harus jaga adalah volatilitas sehingga dapat diterima dan tetap menjaga kepercayaan pasar," tandas dia.

Pada hari ini nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tercatat terus melemah hingga mendekati ke posisi terendah dalam 17 tahun terakhir. Pelemahan rupiah terjadi karena adanya sentimen regional yaitu rencana kenaikan suku bunga Bank Sentral AS (The Fed).

Kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia, Senin (8/6/2015), mencatat nilai tukar rupiah melemah ke level 13.360 per dolar AS. Di akhir pekan lalu, rupiah masih di level 13.288 per dolar AS.

Ada beberapa analis yang mengatakan bahwa rupiah dapat melemah lebih parah ke kisaran 13.500 per dolar AS pada akhir tahun nanti. Angka tersebut merupakan level terendah dalam 17 tahun terakhir sejak Agustus 1998, saat Indonesia terkena krisis finansial.

Negara-negara berkembang seperti Indonesia memang sangat rentan dengan adanya isu kenaikan suku bunga AS. Pasalnya, banyak dana-dana dari negara maju lari ke Indonesia saat perekonomian negara tersebut sedang mengalami kemunduran.  (Amd/Gdn)


Source: liputan6.com