Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) memasang asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berada pada rentang Rp 12.200 per dolar AS hingga Rp 12.800 per dolar AS dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2015. Proyeksi ini dalam perjalanannya bakal dibayang-bayangi isu kenaikan suku bunga acuan The Fed yang diperkirakan terjadi pada September 2015.
Ekonom Standard Chartered Bank, Eric Sugandhi memproyeksikan nilai tukar rupiah akan menembus level Rp 13.200 per dolar AS menjelang pengumuman kenaikan Fed Fund Rate yang rencananya sebesar 50 Basis Poin (Bps) pada bulan kesembilan ini.
"Akan ada tekanan rupiah jelang Fed Fund Rate naik, sehingga diperkirakan kurs rupiah tembus ke Rp 13.200 per dolar AS," ucapnya kepada wartawan usai acara Global Research Briefing di Jakarta, Senin (26/1/2015).
Eric mengaku, potensi penguatan bagi pergerakan rupiah masih terbuka lebar apabila Bank Sentral AS menunda kebijakan tersebut. "Kalau The Fed tidak jadi naikkan suku bunga acuan, rupiah bisa Rp 12.000-Rp 12.500 per dolar AS," terangnya.
Berbeda, Ekonom Senior Standard Chartered Bank Fauzi Ichsan meramalkan kurs rupiah akan bergerak melemah atau terdepresiasi lebih dalam di semester I 2015. Perkiraannya bisa tembus ke level Rp 13.000 per dolar AS.
"Tapi prediksi ini dibuat sebelum Eropa Central Bank melakukan kebijakan Quantitaive Easing (QE). Jadi pengumuman QE oleh ECB justru mengubah prediksi," tambahnya.
Dia memproyeksikan, rupiah kembali menguat pada semester II 2015 karena sejumlah perbaikan dan reformasi struktural yang dijalankan pemerintah Indonesia. "Di semester II, kurs. Rupiah bisa menguat Rp 12.200-Rp 12.500 meski di semester I melemah. Penguatannya karena defisit transaksi berjalan mulai mengecil," tegas Fauzi.
Menurutnya, dampak menjelang kenaikan suku bunga AS lebih besar ketimbang lebih besar ketimbang paska pengumuman kebijakan tersebut. "Sama seperti QE di AS dan pengumuman Tapering off, dampaknya besar sekali. Tapi setelah diakhiri, justru biasa saja," tandas dia. (Fik/Gdn)
Source: liputan6.com
|
Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih tertekan kondisi ekonomi dunia, termasuk dari Eropa. Sementara faktor politik dari kekisruhan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian RI dinilai tidak menggoyahkan ekonomi Indonesia, salah satunya pergerakan kurs rupiah.
Demikian disampaikan Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardojo usai Rapat Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (26/1/2015).
Agus berpendapat, pelemahan nilai tukar rupiah hanya bersifat sementara. "Yang sekarang ini kondisi yang sifatnya temporary karena sifat di dunia ada risk on dan risk off. Kondisi itu lebih banyak dari faktor dunia," ujarnya.
Sedangkan BI memandang, faktor politik di dalam negeri tidak memengaruhi ekonomi Indonesia. Bahkan kondisi ekonominya menunjukkan perbaikan karena realisasi inflasi yang diperkirakan rendah karena pengaruh penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) dan elpiji.
"Neraca perdagangan pada Desember ini akan tercatat surplus US$ 200 juta atau meningkat dari pencapaian sebelumnya US$ 100 juta. Defisit neraca transaksi berjalan di kuartal I 2015 juga akan merosot di level 2 persen dari PDB, walaupun akan meningkat lagi 3,3 persen-3,5 persen di kuartal II, III dan IV ini dengan inflasi 4 plus minus 1 persen, " tandas Agus. (Fik/Gdn)
Source: liputan6.com
|