Berita Kurs Dollar pada hari Jumat, 23 Januari 2015 | |
Ini yang Bikin Rupiah Sulit Perkasa Seperti Dolar AS | |
Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) membeberkan akar permasalahan yang mengakibatkan nilai rukar rupiah terdepresiasi terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Tak heran bila Bank Sentral memperkirakan asumsi kurs rupiah pada rentang Rp 12.200-Rp 12.800 per dolar AS di tahun ini. Gubernur BI, Agus DW Martowardojo menyebut, persoalan pertama, Indonesia membukukan defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD) pada 2013 sebesar US$ 29 miliar dan susut menjadi US$ 25 miliar pada 2014. Rapor merah defisit juga ada di neraca perdagangan Indonesia. "Semua negara ASEAN surplus, kecuali Indonesia defisit. Kondisi ini nggak memungkinkan nilai tukar rupiah jadi lebih kuat, apalagi ekonomi Tiongkok melemah sehingga memicu penurunan harga komoditas dan bikin rupiah tertekan," jelas dia di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (22/1/2015) malam. Dari catatan Agus, kurs rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS sebesar 1,7 persen di 2014. Masih jauh lebih rendah dibanding pelemahan nilai tukar mata uang dolar Singapura 4 persen, Malaysia 6 persen. Problem kedua, sebut dia, karena pengaruh utang luar negeri (ULN) swasta yang lebih tinggi dibanding ULN pemerintah tanpa lindung nilai (hedging). ULN swasta mencapai US$ 161 miliar dan ULN pemerintah US$ 133 miliar. "Risikonya nilai tukar rupiah menjadi likuiditas over leverage kalau terjadi perubahan," ujarnya. Bambang menambahkan, permasalahan ketiga kedalaman pasar keuangan di Indonesia masih sangat dangkal sehingga apabila ada lonjakan permintaan dolar AS, terjadi guncangan karena suplai kurang memadai. Selain itu Undang-undang (UU) lalu lintas devisa di Indonesia diberikan kebebasan. Tidak seperti di Thailand dan Singapura di mana devisa hasil ekspor ditahan beberapa bulan atau ditukar ke mata uang mereka. Di samping itu, BI sambung Agus, pemerintah akan menjaga inflasi di bawah 4 plus minus 1 persen melalui reformasi struktural mengingat problem mendasar kurs rupiah terkait pula dengan subsidi bahan bakar minyak (BBM). "Selama 20 tahun terakhir, isu kita cuma subsidi BBM dan listrik, pembangunan infrastruktur, perizinan termasuk anti korupsi. Reformasi struktural kita mencabut subsidi Premium dan subsidi tetap Solar sehingga ini dihormati dunia. Tinggal apa benar penghematan ini bisa dialihkan ke sektor produktif," cetus dia. Sementara persoalan kelima, kata dia, datang dari normalisasi kebijakan moneter di AS sehingga berpeluang memacu penguatan dolar AS. "Kita harus perbaiki CAD, karena agak sulit menjaga kurs rupiah di level stabil kalau masihseperti ini," ucap Agus. (Fik/Ndw) Source: liputan6.com |
|
Rupiah Masih Nikmati Sentimen Positif Bank Sentral Eropa | |
Liputan6.com, Jakarta - Di akhir pekan, rupiah tercatat masih bergerak menguat melanjutkan penguatan dua hari sebelumnya. Nilai tukar rupiah masih menikmati sentimen positif dari keputusan Bank Sentral Eropa (ECB) untuk melanjutkan program pengguliran dana stimulus senilai 60 miliar euro setiap bulan hingga September 2016. Data valuta asing (valas) Bloomberg, Jumat (23/1/2015), nilai tukar rupiah menguat 0,35 persen 12.443 per dolar AS pada perdagangan pukul 9:04 waktu Jakarta. Sebelumnya, nilai tukar rupiah dibuka menguat 49 poin di level 12.439 per dolar AS dari perdagangan sebelumnya di level 12.487 per dolar AS. Meski tak bergerak signifikan, rupiah terpantau masih berfluktuasi menguat di kisaran 12.410-12.460 per dolar AS di awal sesi perdagangan. Analis PT Bank Mandiri Tbk Renny Eka Putri menjelaskan, keputusan ECB untuk melanjutkan pengguliran dana stimulusnya membuat para investor melakukan aksi ambil untung. Dana stimulus Eropa akan membuat likuiditas euro di pasar meningkat dan menurunkan nilai tukar euro sendiri. "Ini tentu saja berita bagus buat dolar. Saat dolar meningkat seperti, tentu saja akan memicu aksi jual yang kemudian berdampak positif pada pergerakan rupiah," terang Renny saat berbincang dengan Liputan6.com. Menurut Renny, penguatan nilai tukar rupiah yang terjadi saat ini tampak masih bersifat sementara karena dipicu faktor teknis. Saat ini, Renny juga menilai faktor dari dalam negeri bagi rupiah masih terbilang minim. "Agenda besar ECB yang saat ini masih menjadi sorotan, mau tidak mau ya pasti ada dampaknya ke rupiah meskipun tidak langsung tapi pasti ada korelasi," tandasnya. (Sis/Ahm) Source: liputan6.com |