Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah kembali memberikan sinyal untuk menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) dalam waktu dekat. Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, harga BBM akan diturunkan ke kisaran Rp 6.400 - Rp 6.500 per liter. Sayangnya, rencana tersebut ternyata tak mampu membuat nilai tukar rupiah menguat lebih jauh.
Data valuta asing (valas) Bloomberg, Jumat (16/1/2015), mencatat nilai tukar rupiah dibuka menguat di level Rp 12.541 per dolar AS dari Rp 12.555 per dolar AS pada perdagangan sebelumnya. Namun kemudian nilai tukar rupiah tampak berfluktuasi melemah dan bertengger di kisaran Rp 12.541 per dolar AS hingga Rp 12.618 per dolar AS.
Sebaliknya, kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia menunjukkan nilai tukar rupiah bergerak menguat Rp 12.593 per dolar AS. Nilai tukar rupiah memang masih tampak berkutat di kisaran Rp 12.500 per dolar AS hingga Rp 12.600 per dolar AS.
Ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk, Dian Ayu Yustina menjelaskan, saat ini, sebagian besar mata uang terjebak dalam dollar strenghtening environment (situasi penguatan dolar).
"Rencana penurunan harga BBM tidak terlalu kelihatan dampaknya terhadap rupiah karena sedang berada dalam situasi penguatan dolar, di mana mata uang lain cenderung melemah termasuk rupiah," katanya.
Selain itu, Dian menjelaskan, sebenarnya sentimen yang dapat berdampak positif adalah penghilangan subsidi premium. Dengan begitu, para investor akan melihat anggaran negara terlindungi dan volatilitas berkurang karena tidak terkena tekanan.
"Tapi kan kondisinya kurang memungkinkan karena harga minyak sedang terus turun," pungkasnya. (Sis/Gdn)
Source: liputan6.com
|
Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) melihat bahwa tekanan terhadap rupiah masih akan terus terjadi sepanjang tahun ini. Faktor regional menjadi penyebab utama tekanan tersebut.
Gubernur Bank Indonesia Agus martowardojo menjelaskan, di tahun 2014 lalu nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terdepresiasi sebesar 1,8 persen. Namun pelemahan rupiah tersebut masih baik jika dibandng dibanding dengan beberapa negara lain.
Agus melanjutkan, di 2015 ini rupiah masih akan tertekan. "Jika data-data mencapai apa yang skenariokan oleh The Federal Reserved (The Fed) sehingga akan ada peningkatan bunga maka itu perlu kita waspadai," jelasnya di Jakarta, Jumat (16/1/2015).
Pasalnya, kenaikan suku bunga dapat memicu larinya dana-dana asing yang ada di Indonesia (capital outflow) sehingga bisa menekan rupiah. Dana-dana tersebut akan kembali ke Amerika.
Faktor lain yang bisa menekan rupiah adalah turunnya pertumbuhan ekonomi China. Pertumbuhan ekonomi di negara Tirai Bambu tersebut diperkirakan hanya sebesar 7,2 persen di tahun ini dari tahuh-tahun sebelumnya yang selalu berada di atas 10 persen.
Karena Indonesia mempunyai hubungan dagang yang cukup besar dengan China maka penurunan pertumbuhan ekonomi tersebut akan mempengaruhi ekspor impor dalam negeri.
Source: liputan6.com
|