Prev Febuari 2015 Next
Ming Sen Sel Rab Kam Jum Sab
01 02 03 04 05 06 07
08 09 10 11 12 13 14
15 16 17 18 19 20 21
22 23 24 25 26 27 28
01 02 03 04 05 06 07
08 09 10 11 12 13 14
Berita Kurs Dollar pada hari Minggu, 22 Febuari 2015
Saham Bank Kuasai Pasar Modal RI

Liputan6.com, Jakarta - Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali mencetak rekor. IHSG mampu naik 0,17 persen (9,65 poin) ke level 5.400. Level tersebut tertinggi sepanjang sejarah pasar modal Indonesia. Aliran dana investor asing mencapai Rp 886,1 miliar yang masuk ke bursa saham menjadi penopang penguatan IHSG.

Di kuartal I 2015, IHSG terus mencetak rekor. IHSG sempat mencatatkan rekor pada perdagangan 23 Januari 2015 dengan ditutup ke level 5.323,88. Lalu IHSG kembali mencetak rekor baru ke level 5.342,52 pada 6 Februari 2015.

Penguatan IHSG terus berlanjut pada perdagangan saham 9 Februari 2015 dengan mencatatkan rekor baru ke level 5.348,47. Bahkan sebelum libur Imlek, IHSG kembali cetak rekor ke level 5.390.

Tren penguatan indeks saham saham ditopang dari tiga sektor saham yang kinerjanya melampaui IHSG. Tiga sektor saham itu antara lain sektor saham properti, konstruksi naik 9,37 persen menjadi 574,08, sektor saham perdagangan tumbuh 8,31 persen menjadi 951,61, dan sektor saham keuangan menanjak 7,52 persen ke level 786,69. Sedangkan kinerja IHSG hanya tumbuh 3,31 persen secara year to date menjadi 5.400.

PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) pun masih mencatatkan saham berkapitalisasi besar sepanjang 2015. Kapitalisasi pasar saham PT Bank Central Asia Tbk mencapai Rp 343 triliun atau 6,4 persen dari total kapitalisasi pasar saham bursa sekitar Rp 5.383 triliun.

Lalu disusul kapitalisasi pasar saham PT Astra International Tbk sebesar Rp 318 triliun, atau sekitar 5,9 persen dari total kapitalisasi pasar saham bursa. Di posisi ketiga, ada PT Bank Rakyat Indonesia Tbk yang mencapai kapitalisasi pasar saham sebesar Rp 311 triliun.

Saham bank memang mendominasi untuk saham berkapitalisasi besar. Tak hanya itu saja, di awal 2015 ini, saham bank juga menjadi penggerak indeks saham.

Saham bank penggerak indeks saham itu antara lain saham PT Bank Mandiri Tbk sebesar 12,1 persen, PT Bank Negara Indonesia Tbk sebesar 13,1 persen, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk sebesar 9,2 persen, dan PT Bank Central Asia Tbk sebesar 7 persen.

Tak hanya saham bank, saham barang konsumen seperti PT Unilever Indonesia Tbk juga menjadi penggerak indeks saham. Ditambah sektor saham perdagangan seperti PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA).

Direktur PT Investa Saran Mandiri, Hans Kwee menuturkan, saham bank menjadi penggerak indeks saham didukung dari langkah Bank Indonesia (BI) menurunkan BI Rate/suku bunga acuan. BI memangkas BI Rate sekitar 25 basis poin menjadi 7,5 persen pada Selasa 17 Februari 2015. Meski demikian, BI Rate turun ini hanya sentimen sementara saja.

"Dengan BI Rate turun harapan bank akan lebih baik kreditnya, dan kualitas NPL menjadi lebih baik. Apalagi tahun ini bank-bank besar punya prospek bagus," ujar Hans, saat dihubungi Liputan6.com yang ditulis Minggu (22/2/2015).

Ia menambahkan, prospek bank yang baik tersebut didukung dari proyek pemerintah yang banyak memakai bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN). "Bank BUMN akan menjadi lokomotif perusahaan bagi pembangunan infrastruktur Indonesia," kata Hans.

Hans pun merekomendasikan akumulasi beli saham bank ketika melemah.Saham-saham bank yang jadi pilihannya seperti saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI).

Ekonom DBS, Gundy Cahyadi mengatakan, langkah BI menurunkan BI Rate menunjukkan kalau BI mendorong pertumbuhan ekonomi. Pemerintah sendiri menargetkan pertumbuhan ekonomi sekitar 5,7 persen pada 2015.

Pihaknya pun tidak mengharapkan ini menjadi awal dari kebijakan BI untuk melonggarkan moneter. Prospek pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) pada jangka menengah menjadi sesuatu penting. Ia pun memprediksi sepertinya tidak ada pemotongan suku bunga lagi pada 2015.

"Kunci untuk melihat dampak suku bunga itu juga melihat permintaan domestik. Di awal, memang neraca perdagangan Januari agak membingungkan sementara bank sentral mempertahankan hal optimis dalam kebijakannya, jadi tidak ada yang menyangkal kalau momentum pertumbuhan PDB masih jauh di bawah potensi jangka menengah," kata Gundy. (Ahm/)


Source: liputan6.com
Sentimen Global Masih Tekan Rupiah?

Liputan6.com, Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu menembus rekor baru sepanjang sejarah di level 5.400 pada perdagangan saham Jumat pekan ini. Meski demikian, rupiah kembali merosot didorong sejumlah sentimen terutama global.

Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) rupiah terus tertekan ke level 12.849 pada Jumat 20 Februari 2015.
Posisi ini terus tertekan sejak 17 Februari 2015 yang berada di level 12.757 per dolar Amerika Serikat (AS). Posisi rupiah sempat sentuh level 12.900 pada 16 Desember 2014. Sementara itu, nilai tukar rupiah bergerak hingga Rp 12.891 per dolar AS di pasar uang.

Ekonom PT Bank Rakyat Indonesia Tbk, Anggito Abimanyu menuturkan, ada sejumlah faktor rupiah terus tertekan. Faktor itu terutama dari tekanan global. Pertama, pemulihan ekonomi AS dengan data pengangguran yang membuat membuat dolar AS semakin kuat.

Kedua, sentimen penyelesaian utang Yunani. Meski, para Menteri Keuangan Eropa memutuskan untuk memperpanjang waktu pinjaman selama empat bulan bagi paket dana talangan (bailout) 172 miliar euro ke Yunani, menurut Anggito hal itu belum berdampak positif ke rupiah. Nilai tukar rupiah diprediksikan masih tertekan di kisaran 12.500.

"Rupiah masih tertekan. Yunani memiliki deadline hingga Juli untuk dana talangan.Mau pinjaman juga ada program penghematan yang belum disetujui. Selain itu, dana talangan harus dikembalikan. Nah ini kalau dikembalikan dari mana dananya?," kata Anggito.

Selain itu, sentimen dalam negeri terutama neraca transaksi berjalan, menurut Anggito juga mempengaruhi laju rupiah. Berdasarkan rilis Bank Indonesia, defisit transaksi berjalan kuartal IV 2014 lebih rendah dibandingkan dengan defisit US$ 7 miliar (2,99 persen dari produk domestik bruto) pada kuartal III 2014. Namun defisit transaksi berjalan triwulan IV lebih besar dibandingkan dengan defisit sebesar US$ 4,3 miliar (2,05 persen PDB) pada periode 2013 karena melemahnya kinerja ekspor non migas.

Anggito mengatakan, rupiah kembali melemah ini masih wajar. Hal itu mengingat ekonomi Indonesia masih baik dengan ada perbaikan di neraca perdagangan. Meski demikian, importir memang dirugikan dengan rupiah melemah, sisi lain eksportir diuntungkan.

"Kalau rupiah lama-lama terus tertekan maka importir yang rugi. Karena impor barang modal akan terhambat sehingga mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi," kata Anggito. (Ahm/)


Source: liputan6.com