Liputan6.com, Jakarta - Setelah melemah selama tiga hari berturut-turut sejak awal pekan, nilai tukar rupiah akhirnya berhasil menguat tipis pada perdagangan Kamis (23/4/2015). Namun memang, penguatan nilai tukar rupiah masih terbatas di kisaran 12.900 per dolar Amerika Serikat (AS).
Kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia, menunjukkan nilai tukar rupiah menguat tipis ke level 12.939 per dolar AS. Sejak awal pekan, rupiah terus menunjukkan pelemahan hingga menyentuh level 12.952 per dolar AS.
Sementara, data valuta asing Bloomberg mencatat nilai tukar rupiah menguat 0,3 persen ke level 12.935 per dolar AS pada perdagangan pukul 10.28 waktu Jakarta. Angka tersebut melanjutkan penguatan pada perdagangan sebelumnya yang ditutup di level 12.896 per dolar AS.
Hingga menjelang siang, rupiah masih aktif berfluktuatif di kisaran 12.922 per dolar AS hingga 12.952 per dolar AS.
Rupiah berhasil menguat bersama sejumlah mata uang Asia lain pada perdagangan hari ini. Hanya satu mata uang utama yang mengalami pelemahan terhadap dolar AS yaitu kecuali yen Jepang. Pelemahan yen memang terus terjadi sejak negara tersebut menggelontorkan berbagai stimulus agas bisa keluar dari resesi.
Ekonom PT Samuel Sekuritas Indonesia Rangga Cipta memperkirakan, peluang penguatan rupiah pada hari ini tidak akan berlangsung lama. Para pelaku pasar di kawasan Asia sedang menanti data manufaktur China. Sebagian besar pelaku pasar memperkirakan hasil dana manufaktur China akan memburuk. Jika hal tersebut terjadi maka rupiah dan beberapa mata uang lain di Asia akan melemah.
"Hari ini sentimen penguatan berpeluang berakhir terutama jika manufaktur China diumumkan jauh lebih buruk dari perkiraan," terangnya.
Bank Indonesia (BI) mengungkapkan, rupiah masih sulit untuk menguat karena ada faktor fundamental yang mempengaruhinya. Pertama mengenai defisit neraca transaksi berjalan. "Dengan kondisi seperti itu, depresiasi kurs rupiah menjadi hal yang tidak dapat dihindarkan, kurs nilai tukar itu sangat ditentukan oleh neraca transaksi berjalan," kata Gubernur BI Agus Martowardojo.
Bahkan dirinya mengungkapkan, dengan kondisi neraca transaksi berjalan yang terus defisit, BI tidak bisa menjamin nilai tukar rupiah kembali ke level Rp 9.000 seperti beberapa tahun lalu. "Intervensi BI tidak bisa membalikkan tren, hanya bisa menjaga pelemahan supaya tidak lebih gradual dan fluktuasinya terjaga," tegas Agus.
Sementara yang menjadi kelemahan lainnya adalah dari sisi utang luar negeri yang sudah dalam status waspada. Utang luar negeri swasta sendiri dikatakan Agus saat ini mencapai US$ 163 miliar.
Dari total Utang Luar Negeri (ULN) swasta tersebut diimbangi dengan kepemilikan Surat Berharga Negara (SBN) yang didominasi oleh asing dimana mencapai 38 persen. "Padahal konon yang direkomendasikan dalam tahap aman itu di bawah 30 persen," ujar Agus.
Kelemahan tersebut ditambah dengan utang tersebut hanya 26 persen yang melakukan lindung nilai. Dnegan begitu sebanyak 74 persen utang sangat rentan terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolas AS. (Sis/Gdn)
Source: liputan6.com