Prev Agustus 2015 Next
Ming Sen Sel Rab Kam Jum Sab
26 27 28 29 30 31 01
02 03 04 05 06 07 08
09 10 11 12 13 14 15
16 17 18 19 20 21 22
23 24 25 26 27 28 29
30 31 01 02 03 04 05
Berita Kurs Dollar pada hari Minggu, 23 Agustus 2015
Susul China, Negara Mana yang akan Melemahkan Mata Uangnya?

Liputan6.com, Jakarta - Kebijakan China sengaja melemahkan mata uang Yuan diikuti oleh Vietnam dengan Dong. Timbul kekhawatiran negara lain akan mengekor langkah kedua negara tersebut, sehingga dapat memicu perang mata uang dan akhirnya semakin memberi tekanan pada kurs rupiah.

"Devaluasi Yuan dan Dong menimbulkan kekhawatiran, apakah kemungkinan terjadi perang mata uang. Semua negara akan berusaha mendepresiasi mata uangnya. Kita tunggu saja, siapa lagi yang akan bereaksi sama dengan China dan Vietnam," ucap Pengamat Valas, Farial Anwar   saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Minggu (23/8/2015).

Dia menuturkan, negara-negara yang bakal mengekor langkah Vietnam dan China masih sebatas spekulasi. Namun Farial memperkirakan, negara pengekspor, seperti Thailand, Korea dan Jepang akan mendevaluasi mata uangnya.

"Mungkin saja Thailand, Korea dan Jepang ikut mendevaluasi mata uangnya. Tapi mata uang mereka sudah merosot, apakah akan dilemahkan lagi, itu keterlaluan," tegas Farial.

Jika hal ini sampai terjadi, termasuk perang mata uang, Farial menjelaskan dampaknya akan semakin besar pada kurs rupiah. Dolar AS, diakuinya bakal lebih menguat. Lalu apakah Indonesia harus ikut-ikutan melemahkan rupiah yang sudah terjun bebas dan sempat menembus level 14.000 per dolar AS?

"Kalau rupiah dimerosotin lagi, maka dunia usaha kita bisa kacau. Sebelum China mendevaluasi Yuan saja, kita sudah babak belur," kata Farial.

Jalan keluarnya, dia berharap ada kerjasama yang baik antara pemerintah dan BI dari sisi kebijakan fiskal dan moneter. Apalagi posisi Kabinet Kerja diperkuat dengan kehadiran Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution yang pernah menjabat Gubernur BI.

"Darmin pernah di BI, pasti dia paham mengenai seluk beluk moneter. Jadi di tengah kisruh yang terjadi, Darmin dan Agus Martowardojo harus bisa memperlihatkan kinerjanya," ucap Farial.

Farial menjelaskan, BI perlu tegas menjalankan beberapa kebijakannya seperti membatasi pembelian dolar AS maksimal US$ 25 ribu. Pembelian valuta asing ini harus ada kepentingannya, seperti keperluan pembayaran impor atau utang dan sebagainya.

"Jadi bukan untuk spekulasi dan disimpan. Serta tegas menjalankan kewajiban penggunaan rupiah di wilayah NKRI. Jangan main-main lagi, harus serius diterapkan," tegas dia.

Dari sisi fiskal, menurut Farial, pemerintah segera merealisasikan belanja untuk mengerek pertumbuhan ekonomi ke arah positif. "Langkah-langkah tersebut akan mampu mengurangi tekanan penguatan dolar AS di tengah perang mata uang," jelas Farial.

Dia berharap, upaya tersebut dapat menguatkan nilai tukar rupiah sampai ke level Rp 13.400 per dolar AS. "Tapi kalau ternyata harapan dan kenyataannya berbeda lagi, maka tidak menutup kemungkinan rupiah semakin melemah," tandas Farial. (Fik/Ahm)


Source: liputan6.com
Strategi Emiten Farmasi Hadapi Rupiah Terpuruk

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menekan kinerja keuangan emiten di pasar modal Indonesia termasuk emiten farmasi. Sejumlah emiten farmasi pun memutar otak untuk menghadapi depresiasi rupiah tersebut.

Melihat data kurs tengah Bank Indonesia (BI), rupiah terhadap dolar AS dari awal tahun hingga Kamis 20 Agustus 2015 telah melemah 10,93 persen ke posisi 13.838. Emiten farmasi pun mengatur strateginya untuk menghadapi pelemahan rupiah tersebut.

Direktur PT Kalbe Farma Tbk, Vidjongtius menuturkan kondisi nilai tukar rupiah tembus 13.800 ini memang cukup berat. Bila nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih terus tertekan maka itu dapat membuat margin perseroan turun.

Hal itu lantaran perseroan belum dapat menyesuaikan harga jual produk mengingat kondisi ekonomi Indonesia melambat.Tercatat pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II 2015 sebesar 4,67 persen, atau melambat dari realisasi kuartal sebelumnya 4,72 persen. Ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,7 persen hingga semester I 2015, turun dari periode sama tahun lalu sekitar 5,17 persen.

"Kondisi hari ini cukup berat dan menantang. Rupiah sudah depresiasi lebih dari 10 persen. Kenaikan harga jual produk pun tidak bisa disesuaikan karena kondisi ekonomi hanya tumbuh 4,7 persen. Situasi seperti ini tidak pas untuk menyesuaikan harga. Tantangan ke depan cukup ketat," ujar Vidjongtius saat berbincang dengan Liputan6.com, seperti ditulis Minggu(23/8/2015).

Sementara itu, Sekretaris Perusahaan PT Indofarma Tbk Yasser Arafat mengatakan kondisi nilai tukar rupiah sekarang memang mengkhawatirkan. Akan tetapi pihaknya telah mengikat kontrak bahan baku dari harga periode sebelumnya jadi tidak belum terlalu berpengaruh.

"Kami sudah beli bahan baku dengan harga terjangkau dan melakukan kontrak jangka panjang. Jadi sekarang belum ada pengaruh," kata Yasser.Yasser malah mengkhawatirkan kondisi dolar AS bila terus menguat tahun depan. Selama ini perseroan mendapatkan pasokan bahan baku dari Cina, India dan Eropa.

"Kami punya supplier dari China tetapi dalam kontrak tersebut berdasarkan dolar AS jadi ketikaYuan melemah tidak terlalu pengaruh," tutur Yasser.

Yasser menambahkan, pihaknya mempertimbangkan untuk diskusi dengan supplier untuk memakai Yuan. Hal itu menghadapi nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS.

Sedangkan Vidjongtius menuturkan pihaknya akan mereview produk-produk yang memimpin pangsa pasar untuk menaikkan harga jualnya. Akan tetapi, kalau produk biasa saja, perseroan tidak akan menaikkan harga mengingat persaingan.

Selain itu, perseroan juga mencari alternatif bahan baku murah. "China mendevaluasi mata uangnya sehingga jadi lebih murah barang-barangnya. Kami sedang mencari alternatif bahan baku. Kami juga melakukan efisiensi internal tapi ini butuh waktu. Efisiensi ini terutama dari produksi," kata Vidjongtius. (Ahm/Igw)


Source: liputan6.com
Usaha Kecil Menengah Menderita Akibat Ekonomi RI Melambat

Liputan6.com, Jakarta - Perlambatan ekonomi dan nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin menghimpit pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah/UMKM. Usaha yang selama ini membentengi Indonesia dari badai krisis terancam kolaps akibat kondisi tersebut.

Direktur Eksekutif INDEF, Enny Sri Hartati mengungkapkan jumlah UMKM di Indonesia mencapai 99 persen dan berhasil menolong Indonesia dari krisis keuangan di periode 1997-1998. Sementara porsi konglomerat kurang dari 1 persen.

"Jadi kalau terjadi perlambatan, maka yang melambat adalah usaha yang jumlahnya terbesar itu. Hampir semua sektor tidak berjalan, stuck seperti industri pertambangan tumbuh negatif, industri manufaktur, capital intensif, apalagi industri padat karya," ujar dia dalam Diskusi Senator Kita di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Minggu (23/8/2015).

Ia menjelaskan, sektor UMKM dan sektor lainnya terpuruk akibat kelebihan barang produksi yang tak sanggup dilempar ke pasaran akibat penurunan daya beli masyarakat maupun perlambatan ekonomi global.

"Kalau barang yang diproduksi, tidak ada yang beli, mereka tidak mau produksi lagi. Produk tekstil saja sudah tidak keluar sejak 2014. Tapi sayang tidak ada kebijakan konkret dari pemerintah supaya produk bisa terjual," keluh Enny. 

Kata dia, pemerintah perlu memahami kondisi dan situasi pelaku usaha, khususnya UMKM melalui kebijakan yang tepat. Pemerintah, lanjutnya, jangan selalu menyalahkan faktor eksternal mengingat akar permasalahan dari turunnya daya beli masyarakat akibat kebijakan pemerintah soal harga.

"Yang memulai daya beli masyarakat turun, karena kebijakan kita sendiri soal harga. Tepatnya saat harga BBM naik secara sporadis tanpa kalkulasi yang matang dan berdampak terhadap daya beli masyarakat," tegas Enny.

Enny berharap, pemerintah dapat menggenjot penyerapan anggaran atau belanja sehingga dapat membalikkan daya beli masyarakat. (Fik/Ahm)


Source: liputan6.com