Prev Agustus 2015 Next
Ming Sen Sel Rab Kam Jum Sab
26 27 28 29 30 31 01
02 03 04 05 06 07 08
09 10 11 12 13 14 15
16 17 18 19 20 21 22
23 24 25 26 27 28 29
30 31 01 02 03 04 05
Berita Kurs Dollar pada hari Jumat, 21 Agustus 2015
Rupiah Masuk Kondisi Darurat Tembus 13.917 per Dolar AS

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus-menerus terpuruk hingga semester II 2015. Data Bloomberg menujukan nilai tukar rupiah sempat menembus level 13.917 per dolar AS pada Kamis pekan ini.

Menanggapi hal tersebut, Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) David Sumual mengatakan untuk mendorong penguatan nilai tukar rupiah perlu meningkatkan kepercayaan pasar. David menilai, nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS tak terlepas dari sentimen kisruh pemerintahan yang belakangan terjadi di dalam negeri. "Sekarang yang diperlukan kerja dan tenang," kata dia kepada Liputan6.com, Jakarta, seperti ditulis Jumat (20/8/2015).

Dia mengatakan, kondisi rupiah saat ini telah masuk fase darurat atau lampu kuning. Maka, pemerintah seyogyanya cepat berbenah diri.

"Mereka harus berpikir, karena kondisinya seperti ini," tutur David.

David mengatakan, pergerakan rupiah saat ini cenderung volatile. Kalau pun menguat, David menuturkan, hanya secara teknikal karena telah tergerus cukup dalam.

Sementara itu, sentimen negatif dari global membayangi pergerakan rupiah. Di antaranya, bursa saham China melemah sejalan dengan devalusi Yuan. Ditambah harga komoditas rendah. "FOMC baru keluar, kenaikan suku bunga AS masih mix," kata David.

Hal itu ditambah dengan kondisi negara sekawasan yang kurang kondusif, seperti pemerintahan Malaysia dan peristiwa pemboman yang terjadi di Thailand. Nilai tukar rupiah sudah mengalami depresiasi sekitar 10,68 persen dari awal tahun di kisaran 12.545 per dolar AS menjadi 13.885 per dolar AS pada Kamis 20 Agustus 2015.  (Amd/Ahm)


Source: liputan6.com
Rupiah Terpuruk, Pemerintah Harus Kembalikan Kepercayaan Pasar

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus-menerus terpuruk hingga semester II 2015. Data Bloomberg menujukan nilai tukar rupiah sempat menembus level 13.917 per dolar AS pada Kamis pekan ini.

Menanggapi hal tersebut, Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) David Sumual mengatakan untuk mendorong penguatan nilai tukar rupiah perlu meningkatkan kepercayaan pasar. David menilai, nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS tak terlepas dari sentimen kisruh pemerintahan yang belakangan terjadi di dalam negeri. "Sekarang yang diperlukan kerja dan tenang," kata dia kepada Liputan6.com, Jakarta, seperti ditulis Jumat (20/8/2015).

Dia mengatakan, kondisi rupiah saat ini telah masuk fase darurat atau lampu kuning. Maka, pemerintah seyogyanya cepat berbenah diri.

"Mereka harus berpikir, karena kondisinya seperti ini," tutur David.

David mengatakan, pergerakan rupiah saat ini cenderung volatile. Kalau pun menguat, David menuturkan, hanya secara teknikal karena telah tergerus cukup dalam.

Sementara itu, sentimen negatif dari global membayangi pergerakan rupiah. Di antaranya, bursa saham China melemah sejalan dengan devalusi Yuan. Ditambah harga komoditas rendah. "FOMC baru keluar, kenaikan suku bunga AS masih mix," kata David.

Hal itu ditambah dengan kondisi negara sekawasan yang kurang kondusif, seperti pemerintahan Malaysia dan peristiwa pemboman yang terjadi di Thailand. Nilai tukar rupiah sudah mengalami depresiasi sekitar 10,68 persen dari awal tahun di kisaran 12.545 per dolar AS menjadi 13.885 per dolar AS pada Kamis 20 Agustus 2015.  (Amd/Ahm)


Source: liputan6.com
Ini Biang Kerok Rupiah Tersungkur

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin jatuh lebih dalam hingga menyentuh level 13.917 pada Kamis pekan ini. Tekanan ini berasal dari faktor eksternal maupun internal, mulai dari spekulasi tertundanya kebijakan kenaikan suku bunga The Fed, perang mata uang sampai kisruh Kabinet Kerja.

Pengamat Valas, Farial Anwar membeberkan penyebab depresiasi rupiah dari faktor global. Pertama, sambungnya, ada dua spekulasi yang beredar soal penyesuaian Fed Fund Rate yakni tetap diperkirakan pada September, namun ada pula yang memprediksi ditunda.

"Dengan adanya devaluasi Yuan, diperkirakan kenaikan suku bunga acuan AS akan tertunda, bisa mundur. AS sangat kecewa dengan devaluasi Yuan karena mereka ingin Yuan dimahalkan bukan dibuat murah karena AS mengalami defisit perdagangan dengan China akibat serbuan barang-barang asal sana," ucap dia saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Jumat (21/8/2015).

Farial menjelaskan, tindakan devaluasi diikuti Vietnam yang sengaja mendepresiasi mata uangnya Dong. Menurut dia, kondisi tersebut menimbulkan kekhawatiran terjadi perang mata uang (currency war). 

"Dikhawatirkan semua negara berusaha mendepresiasi mata uangnya. Kita lihat saja, nanti negara mana lagi yang akan bereaksi sama, apakah Korea, Jepang dan lainnya. Karena dengan langkah itu, dolar makin menguat," tegas dia.

Kebijakan Yuan dan Vietnam, lanjut Farial, semakin menambah ketidakpastian kenaikan suku bunga acuan AS karena mengganggu ekspektasi pelaku pasar.

Dari sisi dalam negeri, Farial mengatakan, harapan pasar dengan membaiknya perekonomian Indonesia belum juga menjadi kenyataan. Upaya reshuffle kabinet, diakuinya belum mampu memberikan dampak positif mengangkat ekonomi nasional.

"Yang ada justru konflik antara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya, Menteri BUMN dan Wakil Presiden yang diangkat di media massa. Artinya semakin memberi kesan pemerintahan ini tidak mungkin bisa bekerjasama dengan baik. Malah menimbulkan masalah baru," ucap Farial.

Ekspektasi pasar dengan terpilihnya Darmin Nasution sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Ia menilai hal itu seketika hilang karena kisruh di tubuh Kabinet Kerja. Situasi tersebut, sambung dia, ikut menggoyahkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang mulai menjauh dari level 4.500.

"Asing melakukan aksi jual bersih di pasar modal sampai Rp 4,9 triliun. Karena rupiah jeblok, investor takut rugi valas, takut babak belur. Akhirnya permintaan dolar semakin besar dan mahal," kata Farial.

Dia memperkirakan, tren pelemahan kurs rupiah akan terus berlanjut karena ketidakpastian tersebut. Sayangnya, Farial enggan menyebut proyeksi pelemahan kurs rupiah.

"Saya mengharapkan tidak lebih dari Rp 13.900-an. Mudah-mudahan Bank Indonesia (BI) bisa menahannya, karena saat ini BI satu-satunya harapan kita," tandas Farial. (Fik/Ahm)


Source: liputan6.com
Rupiah Kembali Jatuh ke 13.943 per Dolar AS

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terus tertekan hingga mendekati level 14.000 per dolar Amerika Serikat (AS). Sentimen utama pendorong pelemahan rupiah adalah faktor eksternal yaitu devaluasi Yuan dan juga rencana kenaikan suku bunga Bank Sentral AS (The Fed).

Berdasarkan data Bloomberg, Jumat (21/8/2015), nilai tukar rupiah dibuka di level 13.893 per dolar AS. angka pembukaan tersebut melemah jika dibandingkan dengan penutupan sehari sebelumnya yang berada di level 13.885 per dolar AS.

Sepanjang perdagangan dari pagi hingga siang ini, rupiah sempat berada di level 13.943 per dolar AS, tinggal sejengkal lagi menembus level 14.000 per dolar AS.
Saat ini rupiah bergerak antara 13.882 per dolar AS hingga 13.950 per dolar AS.

Sedangkan berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia, pada 21 Agustus 2015 ini rupiah berada di level 13.895 per dolar AS. Level tersebut melemah jika dibandingkan dengan periode sehari sebelumnya yang berada di level 13.838.

Sepanjang Agustus ini, berdasarkan data JISDOR BI, nilai tukar rupiah telah melemah 2,98 persen.

Ekonom Purbaya Yudhi Sadewa menjelaskan, pelemahan rupiah memang sudah terlalu dalam dan tidak mencerminkan faktor fundamental. Sepanjang 2015 ini ekonomi nasional tumbuh cukup bagus jika dibandingkan dengan beberapa negara lain.

"Pertumbuhan kita masih di 4,7 persen, jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan beberapa negara lain di Asia," tuturnya.

Menurutnya, dengan pertumbuhan ekonomi yang masih cukup bagus seharusnya rupiah tidak berada di level 13.000 per dolar AS.

Namun, karena sentimen dari eksternal cukup tinggi, maka rupiah mau tidak mau harus ikut terjun bebas. Purbaya mengatakan, pelemahan rupiah terjadi karena otoritas meneter China mendevaluasi Yuan yang diperkirakan akan memicu perang mata uang.

Tanda-tanda perang mata uang tersebut sudah terlihat dengan langkah devaluasi yang dilakukan oleh Vietnam dan kemungkinan akan dijalankan oleh negara-negara lain.

Selain itu, pelemahan rupiah juga disebabkan karena rencana lama dari Bank Sentral Amerika (The Fed) yang akan menaikkan suku bunga. Sebenarnya rencana tersebut sudah diukemukakan sejak akhir tahun lalu. Namun karena waktu pelaksanaannya belum jelas, maka sebagian besar dana-dana yang ada di dalam negeri keluar (capital outflow) sehingga menekan rupiah.

Pernyataan dari Purbaya tersebut hampir sama dengan yang diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution. Menurutnya, nilai tukar rupiah melemah merupakan dampak psikologis pasar karena devaluasi mata uang China Yuan. Kondisi tersebut diperparah oleh kondisi politik di Malaysia.

"Sebetulnya situasi kita memang terus terang bukannya ada dana segar luar masuk, malah cenderung keluar. Tekanan itu ditambah psikologi pasar karena persoalan devaluasi Yuan. Kemudian Malaysia ada soal politik itu membuat tekanan tinggi," kata dia.

Maka dari itu, Darmin mengatakan keputusan investasi mesti dilakukan secara cepat untuk meningkatkan nilai tukar rupiah. Seperti pemerintah hari ini akhirnya memutuskan untuk membagi dua proyek Light Rail Transit (LRT) yang selama ini tak menemui titik temu.

"Dalam situasi tak ada pasokan dolar masuk dari luar, maka memang rupiah melemah. Itu sebabnya putusan investasi seperti ini penting untuk cepet buka pintu masuk dolar," ujar Darmin. (Gdn/Ndw)


Source: liputan6.com
IHSG Rontok, Kapitalisasi Pasar Modal RI Susut Rp 971 Triliun

Liputan6.com, Jakarta - Kapitalisasi pasar saham di pasar modal Indonesia semakin tergerus. Sentimen negatif eksternal mulai dari ketidakpastian kenaikan suku bunga AS dan devaluasi Yuan menambah tekanan pasar modal Indonesia. Hal itu diperparah dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menembus level 13.880 per dolar AS.

IHSG kembali melanjutkan tekanan. IHSG melemah 42,33 poin (0,94 persen) menjadi 4.441 pada penutupan perdagangan saham Kamis 20 Agustus 2015. Kinerja IHSG pun makin melemah dengan turun 15,02 persen secara year to date dari awal tahun hingga penutupan perdagangan saham kemarin.

IHSG longsor itu membuat kapitalisasi pasar saham BEI susut tajam. Ketika IHSG mencapai level tertinggi di kisaran 5.523 pada 7 April 2015, kapitalisasi pasar saham BEI tercatat Rp 5.566 triliun.

Kemarin, nilai kapitalisasi pasar saham BEI tercatat Rp 4.595 triliun. Ini artinya dalam kurun waktu empat bulan, kapitalisasi pasar saham BEI telah tergerus Rp 971 triliun. Kapitalisasi pasar saham 10 emiten berkapitalisasi besar pun ikut susut.

Kalau dilihat dari 10 emiten kapitalisasi besar sempat tembus Rp 2.578 triliun pada 7 April, kini kapitalisasi pasar 10 emiten berkapitalisasi besar itu menjadi Rp 2.149 triliun pada 20 Agustus 2015.

PT HM Sampoerna Tbk kembali merebut posisi pertama berkapitalisasi besar dari PT Bank Central Asia Tbk. Kapitalisasi pasar saham PT HM Sampoerna Tbk tercatat Rp 345 triliun.

Disusul kapitalisasi pasar saham PT Bank Central Asia Tbk sebesar Rp 300 triliun. Kapitalisasi pasar saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) ini telah susut Rp 75 triliun dari saat posisi IHSG tertinggi, kapitalisasi pasar saham BBCA di kisaran Rp 373 triliun. Kemudian kapitalisasi pasar saham terbesar lainnya yaitu PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM), PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), dan PT Astra International Tbk (ASII).

Aksi Jual Melanda Saham Kapitalisasi Besar

Analis PT First Asia Capital Tbk, David Sutyanto menuturkan kapitalisasi pasar saham emiten berkapitalisasi besar kinerja keuangan emiten berkapitalisasi besar tidak sesuai harapan membuat tekanan terhadap saham emiten kapitalisasi pasar besar. Apa lagi investor asing juga banyak memegang saham emiten berkapitalisasi besar sehingga saat sentimen negatif melanda mereka cenderung melakukan aksi jual.

Ia menambahkan, saat ini PT HM Sampoerna Tbk menggeser posisi PT Bank Central Asia Tbk juga lantaran perseroan akan melakukan aksi korporasi menambah saham ke publik. Hal itu membuat harga saham PT HM Sampoerna Tbk meningkat. "Ada harapan saham PT HM Sampoerna Tbk jadi likuid sehingga harga sahamnya terus naik," kata David saat dihubungi Liputan6.com yang ditulis Jumat (21/8/2015).

Sementara itu, Analis PT Investa Saran Mandiri Hans Kwee mengatakan saham bank berkapitalisasi besar terpukul seiring nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS. Melihat data kurs tengah Bank Indonesia (BI), rupiah terhadap dolar AS dari awal tahun hingga kemarin telah melemah 10,93 persen ke posisi 13.838.

Ditambah sentimen pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sekitar 4,7 persen pada semester I 2015. Perlambatan ekonomi ini pun diperkirakan berlanjut. Hans menilai, hal tersebut dapat membuat non performing loan (NPL) naik.

"Utang korporasi bisa dalam dolar AS sehingga pelemahan menganggu kinerja perusahaan. Selain bahan baku impor. Berpotensi menurunkan ekspansi bisnis dan menaikkan kredit macet," kata Hans.

Di tengah IHSG anjlok, David juga belum merekomendasikan untuk masuk ke saham-saham berkapitalisasi besar. Hal itu melihat kondisi bursa saham yang belum stabil. "Masih ada IHSG berpeluang turun karena belum ada kepastian The Fed menaikkan suku bunga," ujar David.

Hal senada dikatakan Kepala Riset PT NH Korindo Securities Reza Priyambada. Reza menilai, saat ini belum waktu untuk masuk ke saham-saham berkapitalisasi besar. "Sekarang lebih ke speculative trading saja dulu," kata Reza. (Ahm/Gdn)


Source: liputan6.com
Duet Darmin Nasution dan Agus Marto Harus Bisa Angkat Rupiah

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) diminta untuk bekerjasama sebaik mungkin demi kembali mengangkat nilai tukar rupiah yang sudah jatuh ke level 13.917 per dolar Amerika Serikat (AS). Potensi penguatan rupiah sangat terbuka apabila semua kebijakan konsisten dilaksanakan.

Pengamat Valuta Asing, Farial Anwar berharap ada kerjasama yang baik antara pemerintah dan BI dari sisi kebijakan fiskal dan moneter. Apalagi posisi Kabinet Kerja diperkuat dengan kehadiran Darmin Nasution yang pernah menjabat Gubernur BI.

"Darmin kan pernah di BI, pasti dia paham mengenai seluk beluk moneter. Jadi di tengah kisruh yang terjadi, Darmin dan Agus Martowardojo harus bisa memperlihatkan kinerjanya," ucap dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Jumat (21/8/2015).

Lebih jauh Farial menjelaskan, BI perlu tegas menjalankan beberapa kebijakannya seperti membatasi pembelian dolar AS maksimal US$ 25 ribu. Pembelian valuta asing ini harus ada kepentingannya, seperti keperluan pembayaran impor atau utang dan sebagainya.

"Jadi bukan untuk spekulasi dan disimpan. Serta tegas menjalankan kewajiban penggunaan rupiah di wilayah NKRI. Jangan main-main lagi, harus serius diterapkan," tegas dia.

Dari sisi fiskal, menurutnya, pemerintah segera merealisasikan belanja untuk mengerek pertumbuhan ekonomi ke arah positif. "Langkah-langkah tersebut akan mampu mengurangi tekanan penguatan dolar AS di tengah perang mata uang," jelas Farial.

Dia berharap, upaya tersebut dapat menguatkan nilai tukar rupiah sampai ke level Rp 13.400 per dolar AS. "Tapi kalau ternyata harapan dan kenyataannya berbeda lagi, maka tidak menutup kemungkinan rupiah semakin melemah," tandasnya. (Fik/Gdn)


Source: liputan6.com
Pelemahan Rupiah Nyaris Tak Terbendung

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) makin tertekan menjelang akhir pekan ini. Ketidakpastian ekonomi global menjadi sentimen utama membuat rupiah makin tertekan.

Berdasarkan data Bloomberg, Jumat (21/8/2015), nilai tukar rupiah bergerak di kisaran 13.882-14.001 per dolar AS sepanjang hari ini. Namun, saat perdagangan sore, rupiah agak menguat di kisaran 13.921 pada pukul 03.40 waktu Singapura.

Rupiah dibuka melemah tipis 8 poin ke level Rp 13.893 per dolar AS pada Jumat pagi ini dari penutupan perdagangan Kamis 20 Agustus 2015 di kisaran 13.885 per dolar AS.

Sementara, kurs tengah Bank Indonesia (BI) mencatat, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kembali melemah 0,4 persen menjadi 13.895 per dolar AS dari perdagangan sebelumnya yang berada di level 13.838 per dolar AS.

Rupiah sudah mengalami depresiasi sekitar 10,68 persen dari awal tahun di kisaran 12.545 per dolar AS menjadi 13.885 per dolar AS pada Kamis 20 Agustus 2015.

Analis pasar uang PT Bank Saudara Tbk, Rully Nova mengatakan, Bank Indonesia (BI) harus melakukan intervensi agar rupiah tidak melemah tajam, di sisi lain bank sentral AS berupaya agar dolar AS tidak terlalu menguat. Hal itu lantaran penguatan dolar AS dapat mempengaruhi kinerja perusahaan AS.

"Dari rilis notulen pertemuan bank sentral AS menunjukkan kalau The Federal Reserves belum yakin untuk menaikkan suku bunga sehingga kembali menimbulkan ketidakpastian," ujar Rully saat dihubungi Liputan6.com.

Ia menambahkan, sentimen negatif lainnya datang dari Vietnam. Negara tersebut mengikut langkah China yang melemahkan mata uangnya. "Vietnam melemahkan mata uang Dong menambah tekanan terhadap rupiah," kata Rully.

Rully menuturkan, sentimen eksternal kurang bagus tersebut membuat rupiah dapat tembus 14.000 per dolar AS.

Sementara itu, Pengamat Valas, Farial Anwar membeberkan penyebab depresiasi rupiah dari faktor global. Pertama, sambungnya, ada dua spekulasi yang beredar soal penyesuaian Fed Fund Rate yakni tetap diperkirakan pada September, namun ada pula yang memprediksi ditunda.

"Dengan adanya devaluasi Yuan, diperkirakan kenaikan suku bunga acuan AS akan tertunda, bisa mundur. AS sangat kecewa dengan devaluasi Yuan karena mereka ingin Yuan dimahalkan bukan dibuat murah karena AS mengalami defisit perdagangan dengan China akibat serbuan barang-barang asal sana," ucap dia.

Farial menjelaskan, tindakan devaluasi diikuti Vietnam yang sengaja mendepresiasi mata uangnya Dong. Menurut dia, kondisi tersebut menimbulkan kekhawatiran terjadi perang mata uang (currency war).

"Dikhawatirkan semua negara berusaha mendepresiasi mata uangnya. Kita lihat saja, nanti negara mana lagi yang akan bereaksi sama, apakah Korea, Jepang dan lainnya. Karena dengan langkah itu, dolar makin menguat," tegas dia.

Kebijakan Yuan dan Vietnam, lanjut Farial, semakin menambah ketidakpastian kenaikan suku bunga acuan AS karena mengganggu ekspektasi pelaku pasar.

Dari sisi dalam negeri, Farial mengatakan, harapan pasar dengan membaiknya perekonomian Indonesia belum juga menjadi kenyataan. Upaya reshuffle kabinet, diakuinya belum mampu memberikan dampak positif mengangkat ekonomi nasional. (Ahm/Igw)


Source: liputan6.com
Pelemahan Rupiah Tak Terbendung Nyaris 14.000 per Dolar AS

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) makin tertekan menjelang akhir pekan ini. Ketidakpastian ekonomi global menjadi sentimen utama membuat rupiah makin tertekan.

Berdasarkan data Bloomberg, Jumat (21/8/2015), nilai tukar rupiah bergerak di kisaran 13.882-14.001 per dolar AS sepanjang hari ini. Namun, saat perdagangan sore, rupiah agak menguat di kisaran 13.921 pada pukul 03.40 waktu Singapura.

Rupiah dibuka melemah tipis 8 poin ke level Rp 13.893 per dolar AS pada Jumat pagi ini dari penutupan perdagangan Kamis 20 Agustus 2015 di kisaran 13.885 per dolar AS.

Sementara, kurs tengah Bank Indonesia (BI) mencatat, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kembali melemah 0,4 persen menjadi 13.895 per dolar AS dari perdagangan sebelumnya yang berada di level 13.838 per dolar AS.

Rupiah sudah mengalami depresiasi sekitar 10,68 persen dari awal tahun di kisaran 12.545 per dolar AS menjadi 13.885 per dolar AS pada Kamis 20 Agustus 2015.

Analis pasar uang PT Bank Saudara Tbk, Rully Nova mengatakan, Bank Indonesia (BI) harus melakukan intervensi agar rupiah tidak melemah tajam, di sisi lain bank sentral AS berupaya agar dolar AS tidak terlalu menguat. Hal itu lantaran penguatan dolar AS dapat mempengaruhi kinerja perusahaan AS.

"Dari rilis notulen pertemuan bank sentral AS menunjukkan kalau The Federal Reserves belum yakin untuk menaikkan suku bunga sehingga kembali menimbulkan ketidakpastian," ujar Rully saat dihubungi Liputan6.com.

Ia menambahkan, sentimen negatif lainnya datang dari Vietnam. Negara tersebut mengikut langkah China yang melemahkan mata uangnya. "Vietnam melemahkan mata uang Dong menambah tekanan terhadap rupiah," kata Rully.

Rully menuturkan, sentimen eksternal kurang bagus tersebut membuat rupiah dapat tembus 14.000 per dolar AS.

Sementara itu, Pengamat Valas, Farial Anwar membeberkan penyebab depresiasi rupiah dari faktor global. Pertama, sambungnya, ada dua spekulasi yang beredar soal penyesuaian Fed Fund Rate yakni tetap diperkirakan pada September, namun ada pula yang memprediksi ditunda.

"Dengan adanya devaluasi Yuan, diperkirakan kenaikan suku bunga acuan AS akan tertunda, bisa mundur. AS sangat kecewa dengan devaluasi Yuan karena mereka ingin Yuan dimahalkan bukan dibuat murah karena AS mengalami defisit perdagangan dengan China akibat serbuan barang-barang asal sana," ucap dia.

Farial menjelaskan, tindakan devaluasi diikuti Vietnam yang sengaja mendepresiasi mata uangnya Dong. Menurut dia, kondisi tersebut menimbulkan kekhawatiran terjadi perang mata uang (currency war).

"Dikhawatirkan semua negara berusaha mendepresiasi mata uangnya. Kita lihat saja, nanti negara mana lagi yang akan bereaksi sama, apakah Korea, Jepang dan lainnya. Karena dengan langkah itu, dolar makin menguat," tegas dia.

Kebijakan Yuan dan Vietnam, lanjut Farial, semakin menambah ketidakpastian kenaikan suku bunga acuan AS karena mengganggu ekspektasi pelaku pasar.

Dari sisi dalam negeri, Farial mengatakan, harapan pasar dengan membaiknya perekonomian Indonesia belum juga menjadi kenyataan. Upaya reshuffle kabinet, diakuinya belum mampu memberikan dampak positif mengangkat ekonomi nasional. (Ahm/Igw)


Source: liputan6.com
Belum Ada Rapat FKSSK, Rupiah 14.000 per Dolar AS Masih Aman?

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah yang hampir menyentuh level 14.000 per dolar Amerika Serikat (AS) belum membuat anggota Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) menggelar call for meeting. Apakah ini menandakan bahwa level rupiah masih aman?

Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, rupiah saat ini sedang berhadapan dengan kondisi tidak rasional. Artinya tidak mencerminkan fundamental karena serangan sentimen negatif berlebihan dari global.

"Kondisi sekarang tidak rasional, yaitu mungkin karena khawatir ada perang mata uang, perang harga di minyak dan spekulasi AS akan menaikkan tingkat suku bunga acuannya," ucap dia saat berbincang dengan wartawan di kantornya, Jakarta, Jumat (21/8/2015).

Pengaruh ini, sambung Bambang, tidak berhubungan dengan fundamental ekonomi Indonesia sehingga meski defisit transaksi berjalan membaik, kurs rupiah terus terpental jauh.

"Transaksi berjalan itu urusan fundamental, tapi yang terjadi sekarang rupiah irasional dan tidak bisa dihubungkan seperti itu. Kalau tidak ada masalah, defisit transaksi berjalan membaik, maka rupiah bisa menguat," tegasnya.

Dia menegaskan bahwa belum ada kekhawatiran berlebihan dari pasar atau dari otoritas fiskal, moneter maupun pasar saham dan perbankan terhadap pelemahan rupiah yang menembus Rp 14.000 per dolar AS sehingga anggota FKSSK yang terdiri dari Kemenkeu, Bank Indonesia (BI), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum menggelar call for meeting.

"Pokoknya kalau ada kekhawatiran itu, pasti ada call for meeting di FKSSK. Sampai saat ini saja belum ada call for meeting. Yang pasti koordinasi dengan BI setiap hari kita lakukan," kata Bambang.

Berdasarkan data Bloomberg, Jumat (21/8/2015), nilai tukar rupiah bergerak di kisaran 13.882-14.001 per dolar AS sepanjang hari ini. Namun, saat perdagangan sore, rupiah agak menguat di kisaran 13.921 pada pukul 03.40 waktu Singapura.

Rupiah dibuka melemah tipis 8 poin ke level Rp 13.893 per dolar AS pada Jumat pagi ini dari penutupan perdagangan Kamis 20 Agustus 2015 di kisaran 13.885 per dolar AS.

Sementara, kurs tengah Bank Indonesia (BI) mencatat, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kembali melemah 0,4 persen menjadi 13.895 per dolar AS dari perdagangan sebelumnya yang berada di level 13.838 per dolar AS.

Rupiah sudah mengalami depresiasi sekitar 10,68 persen dari awal tahun di kisaran 12.545 per dolar AS menjadi 13.885 per dolar AS pada Kamis 20 Agustus 2015. (Fik/Gdn)





Source: liputan6.com
Ini Strategi Menkeu Bambang Hadapi Fenomena Super Dolar AS

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berupaya memperkuat nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dengan cara memperbaiki penyerapan belanja. Dengan langkah tersebut diharapkan membangkitkan kembali persepsi pasar terhadap kinerja pemerintah Joko Widodo (Jokowi) dan mengurangi tekanan pada rupiah.

Menteri Keuangan (Menkeu), Bambang Brodjonegoro mengatakan, Indonesia tengah menghadapi tekanan global yang berasal dari perang harga minyak, perang mata uang, devaluasi mata uang sampai spekulasi kenaikan tingkat suku bunga acuan The Fed.

"Intinya ini tekanan yang melanda global, tidak hanya Indonesia. Tugas kita untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi lebih sulit. Harapan satu-satunya memacu belanja pemerintah," tegas dia di kantornya, Jakarta, Jumat (21/8/2015).

Bambang mengungkapkan, realisasi belanja pemerintah pusat sampai dengan 31 Juli 2015 sebesar 50 persen dari total belanja. Sementara belanja barang modal baru 20 persen, belanja Kementerian dan Lembaga 30 persen hingga 40 persen. Paling besar hanya transfer daerah yang sudah terserap 50 persen.

Sayangnya, dia bilang, sebanyak Rp 273 triliun dana daerah mengendap di sejumlah bank daerah, swasta dan bank pelat merah. Untuk itu, pemerintah pusat siap memberikan sanksi tegas kepada pemerintah daerah yang tidak maksimal menyerap dana daerah.

"Dengan cara ini, kita tetap upayakan pertumbuhan ekonomi tahun ini 5 persen hingga 5,2 persen dengan dukungan dari investasi swasta," ucap Bambang.

Pemerintah, tambah dia, bersama Bank Indonesia (BI) selalu menjalin koordinasi dalam rangka stabilisasi nilai tukar rupiah dan menahan aliran modal asing keluar (capital outflow) dari Indonesia. Sebab imbal hasil dari surat utang jangka panjang (bond yield) sudah mencapai 9 persen.

"kami akan lakukan action di sana. Kami jaga SBN supaya setiap lelang mendatangkan inflow (aliran dana masuk). Mendorong pasar sekunder lebih aktif untuk mencegah outflow di SBN, rupiah dan pasar saham karena irasional. Outflow dan inflow ini cuma mencari Safe Haven sementara, karena yang paling aman ke AS," cetus Bambang.

Dijelaskannya, Kemenkeu mempunyai strategi melakukan pembelian kembali (buyback) Surat Utang Negara atau Surat Berharga Negara (SBN) dari BUMN di bawah Kemenkeu.

"Saya lagi mengkonsentrasikan BUMN di bawah Kemenkeu untuk jaga SBN. Kita punya strategi buyback tapi tidak usah menunjukkan panik dengan membeli semua, sehingga seolah-olah semua yang dibeli bisa menyelamatkan kondisi ini. Kalau kondisi irasional, lalu kita pakai langkah biasa, maka kita akan tenggelam sendiri. Kita harus lakukan itu dengan hati-hati," tandas dia. (Fik/Gdn)


Source: liputan6.com
Siasat Pertamina Hadapi Penguatan Dolar AS

Liputan6.com, Jakarta - Dolar Amerika Serikat (AS) makin menguat terhadap sejumlah mata uang termasuk rupiah hingga nyaris 14.000 per dolar AS tentu mempengaruhi perusahaan melakukan kegiatan impor termasuk PT Pertamina (Persero). Apa siasat Pertamina untuk menghadapi kondisi tersebut?

Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero), Wianda Pusponegoro mengatakan saat kondisi nilai tukar rupiah sedang melemah terhadap dolar AS, Pertamina memanfaatkan fasilitas transaksi lindung nilai (hedging) dari Bank Indonesia (BI).

"Jadi itu yang kami lakukan dengan upaya hedging," kata Wianda di Jakarta, Jumat (21/8/2015).

Wianda menambahkan, Pertamina juga sudah menggandeng tiga bank yaitu Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI) dan Bank Rakyat Indonesia (BRI) untuk memanfaatkan fasilitas hedging. "Kami sudah mendapatkan fasilitas dari BI untuk hedging. Ada 3 bank besar yang membantu," tutur Wianda.

Menurut Wianda, fasilitas tersebut terbukti ampuh menghadapi penguatan dolar AS terhadap rupiah, dengan begitu biaya impor minyak mentah dan produk jadi dapat ditekan.

"Selama ini itu yang kami manfaatkan untuk mengurangi potensi meningkatnya biaya akibat dolar yang menguat," kata Wianda.

Wianda mengungkapkan, penguatan dolar AS sangat berpengaruh pada kinerja Pertamina. Lantaran perusahaan energi plat merah tersebut membutuhkan rata-rata dolar AS sebanyak US$ 70 juta per hari untuk membeli minyak mentah dan produk.

"Memang ini agak meningkat, tapi pengeluaran Pertamina rata-rata US$ 70 juta per hari kebutuhan kita. Baik untuk minyak mentah dan produk. Memang itu komposisinya 40 persen minyak mentah, 60 persen untuk produk," ujar Wianda.

Seperti diketahui, kurs tengah Bank Indonesia (BI) mencatat, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kembali melemah 0,4 persen menjadi 13.895 per dolar AS jelang akhir pekan dari perdagangan sebelumnya yang berada di level 13.838 per dolar AS. (Pew/Ahm)


Source: liputan6.com
Rupiah Nyaris 14.000, JK Minta Kurangi Pemakaian Dolar AS

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) meminta agar pemakaian dolar AS dikurangi untuk menekan pelemahan rupiah. Hal itu mengingat dolar AS makin menguat terhadap sejumlah mata uang termasuk rupiah. Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah berada di kisaran 13.941 per dolar AS.

"Yang dilakukan pemerintah ialah mengurangi pemakaian dolar AS karena itu kemarin BI sudah mengatur apabila ada mau pakai dolar harus diatur dengan betul," kata JK, di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Jumat (21/8/2015).

"Terus impor tentu harus diturunkan. Kemudian diusahakan ekspor tapi tidak mudah. Karena itu produksi dalam negeri harus naik," tambah dia.

Nilai tukar Rupiah melemah terhadap dolar AS yang terjadi saat ini, lanjut JK,‎ tidak bisa dipungkiri karena gejala dunia. Serangan terhadap perekonomian Indonesia makin terasa setelah devaluasi Yuan Cina, dan yang terbaru adalah krisis menimpa Malaysia.

"Ini sekali lagi gejala dunia karena China, lalu Malaysia lebih hebat lagi turunnya, minyak turun, saham turun maka terjadi pelemahan mata uang akibat ekonomi turun," imbuh dia.

Kemudian, JK juga melihat kecenderungan para pemain saham di kondisi saat ini adalah menjual sahamnya dan membeli dolar AS. Hal seperti‎ ini harus dihindari demi mengangkat Rupiah.

"Ekonomi di Asia itu menurun banyak karena orang keluar, dari Asia ke Amerika. Artinya sahamnnya dia jual, bond dia jual. Dia dapat Rupiah, dia beli dolar. Artinya dolar susahkan (didapat), berarti dia kuat. Begitu rumusnya kenapa melemah (rupiah)," jelas JK.

Meski kondisi kurang baik, JK masih optimistis perekonomian Indonesia jauh dari krisis seperti 1998. Menurut dia, krisis tersebut terjadi karena ada masalah perbankan.

"‎Saya kira berbeda (kondisi saat ini) dengan krisis 98. Peraturannya lebih ketat sekarang perbankan masih bisa cukup baik. Memang yang hati-hati ialah ekonomi nasional harus efisien itu saja," tandas JK.


Source: liputan6.com