Liputan6.com, Jakarta - Dolar Amerika Serikat (AS) terus menekuk nilai tukar rupiah. Pada 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.600, namun merosot tajam hingga menyentuh lebih dari Rp 12 ribu per dolar AS saat ini. Mampukah pemerintahan baru membawa kurs rupiah menguat?. Pengamat Valas, Farial Anwar menyebut beberapa faktor penyebab pelemahan nilai tukar rupiah, dari internal maupun eksternal. Dari eksternal, pernyataan The Federal Reserve untuk mempercepat penyesuaian suku bunga acuan pada akhir tahun ini menimbulkan pelemahan kurs mata uang di seluruh dunia terhadap dolar AS, termasuk rupiah. "Para spekulan di emerging market keluar, mereka melakukan penjualan (nett sell) dalam jumlah yang besar dan dikonversi ke dolar AS. Terjadi kepanikan, hingga orang lebih memilih pegang dolar AS daripada rupiah yang nilainya terus merosot," ucap Farial kepada Liputan6.com, Jakarta, Jumat (3/10/2014). Selain itu, pelaksanaan transaksi rupiah dalam setiap aktivitas ekonomi di Indonesia yang tertuang dalam Undang-undang (UU) No 7 Tahun 2011 belum berjalan optimal.
Faktanya, mulai dari seluruh kontrak kerja migas, utang luar negeri pemerintah dan swasta hingga pembayaran apartemen, perkantoran seperti di jalan Thamrin sampai jalan Sudirman mensyaratkan dalam bentuk dolar AS. Lanjut Farial, Indonesia juga masih memberlakukan rezim devisa bebas yang menjadi penyebab dasar nilai tukar rupiah terdepresiasi sangat dalam. Hal ini tertuang dalam UU No 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa Bebas. "Asing bisa bebas keluar masuk seenaknya. Kita jadi terkena dampak permainan orang asing yang membuat rupiah kita pontang panting. Apalagi kebutuhan dolar AS kita nggak disuplai eksportir, karena mereka lebih memilih parkir devisanya di luar negeri," paparnya. Jika kedua aturan tersebut tidak direvisi dan diterapkan dengan sungguh-sungguh, dia menyangsikan kurs rupiah terhadap dolar AS dapat kembali menguat tajam.
Pasalnya kondisi tersebut sudah berlangsung sejak lama dan tak pernah ada upaya perbaikan dari regulator untuk memperbaikinya. "Mau pemerintahannya siapapun, sekalipun Jokowi, saya nggak yakin bisa memperbaiki kondisi rupiah. Apalagi Pak Jokowi nggak pernah bahas soal rupiah dalam debatnya, karena kita lebih banyak reaksi daripada antisipasi," tegas Farial. Dia menyarankan selain merevisi dua aturan tersebut, regulator juga perlu menerbitkan payung hukum yang memaksa asing bertahan pada investasinya dalam jangka waktu cukup panjang. "Misalnya asing investasi di Surat Berharga Negara (SBN), maka dipaksa 6 bulan nggak boleh dijual. Kalau mau transfer atau keluar modal harus ada underlying, seperti mau bayar utang luar negeri harus ada perjanjian kreditnya supaya nggak gampang kabur," tukasnya. (Fik/Nrm)
Credit:
Nurmayanti
Source: liputan6.com
|