Berita Kurs Dollar pada hari Sabtu, 20 Desember 2014 |
Banyak Pernyataan Pejabat Soal Rupiah yang Bikin Panik Pasar |
Liputan6.com, Jakarta - Pekan ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tergoncang hebat hingga sempat menyentuh kisaran level Rp 12.900 per dolar AS meski akhirnya kembali menunjukkan penguatan. Pengamat Pasar Uang Farial Anwar menilai, dalam kondisi seperti ini, Bank Indonesia (BI) sebagai pengampu kebijakan moneter harus lebih banyak berperan dibandingkan pemerintah yang menjalankan kebijakan fiskal.
"Dalam kondisi ini yang pusing sekarang sebetulnya BI yang memang berperan di sektor moneter. Kita tidak bisa berharap banyak dari pemerintah," ungkap Fahrial dalam acara diskusi terbuka di Jakarta, Sabtu (20/11/2014).
Menurut Fahrial, saat ini banyak pihak dari kalangan pemerintah mengeluarkan pernyataan yang justru menunjukkan dirinya tidak paham pada kondisi moneter yang sedang terjadi. Banyak juga pernyataan pemerintah yang dapat menciptakan kepanikan di pasar.
"Contoh ada yang bilang cadangan devisa kita tidak cukup untuk intervensi. Itu tidak harus dikeluarkan pemerintah karena pasar akan membaca pernyataan tersebut sebagai sinyal bahwa kita tidak cukup kuat mengatasi pelemahan rupiah," tutur Fahrial.
Dia juga menegaskan bahwa pasar uang adalah persepsi. Artinya interpretasi para pelaku pasar terhadap kondisi moneter yang sedang terjadi akan langsung memicu perubahan di pasar keuangan itu sendiri.
Dalam kesempatan yang sama, politisi sekaligus ekonom Suharso Monoarfa menyarankan agar BI tidak melulu berpatokan pada angka. Dia meminta BI agar tidak reaktif terhadap pasar apalagi mengingat tugasnya untuk mengamankan nilai tukar dan mengendalikan inflasi.
"Seperti BI rate naik 25 poin, itu kan menambah ongkos baru. Dalam enam tahun terakhir, BI cuma sekali turunkan suku bunga, sisanya ya terus menyeret naik," pungkasnya.
Sementara itu, menurut pengamat ekonomi Berly Martawardaya, pemerintah dan BI harus duduk bersama membahas apa saja yang bisa dilakukan untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. Pemerintah diharapkan dapat memperketat berbagai aturan yang dapat berpengaruh positif bagi pergerakan rupiah.
"Menkeu misalnya mendorong pengetatan UU Lalu Lintas Devisa, nanti sanksinya ditentukan oleh Menkopolkam. Dirundingkan dengan BI secara bersama-sama," tuturnya. (Sis/Gdn)
Source: liputan6.com
|
Sembuhkan Rupiah, Pemerintah Hanya Beri Obat Penurun Panas |
Liputan6.com, Jakarta - Anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pekan ini hingga sempat menyentuh ke level Rp 12.900 per dolar AS terus menguras perhatian para pelaku pasar. Pengamat ekonomi Berly Martawardaya mengatakan, pelemahan rupiah saat ini sama seperti orang yang sedang meriang.
"Kalau temporary, diberikan madu atau obat masuk angin bisa sembuh, tapi kalau gaya hidup tidak diubah, pasti nanti sakit lagi. Begitu juga dengan rupiah, yang bisa anjlok kapan saja kalau fundamentalnya tidak diperbaiki, " papar Berly dalam diskusi terbuka di Jakarta, Sabtu (20/12/2014).
Dia menjelaskan, pemerintah Indonesia cenderung puas dengan obat sementara dalam mengatasi pelemahan nilai tukar rupiah. Padahal menurutnya masalah besar seperti defisit transaksi berjalan dan rendahnya pengawasan lalu lintas devisa yang memicu pelemahan rupiah di Tanah Air masih belum terselesaikan.
Selain itu, ketimpangan volume impor dan ekspor nasional juga belum berhasil diselesaikan pemerintah.
"Dua tahun terakhir ini, transaksi negatif karena kebanyakan impor. Data menunjukkan, 35 persen impor Indonesia adalah mesin-mesin, sementara 45 persen ekspor kita itu bahan nabati, karet, kayu, jadi hanya barang-barang mentah, ya tidak imbang," jelasnya.
Dia melanjutkan, postur industri Indonesia terus menurun yang juga menjadi pekerjaan pemerintah dalam jangka panjang. Data juga menunjukkan, ketika sektor industri menurun maka yang meningkat adalah sektor jasa.
"Padahal sektor jasa tidak tinggi value added-nya. Menguatkan kembali sektor industri dengan memudahkan proses pengaliran insentif yang selama ini memang disediakan pemerintah seperti tax allowance dan tax holiday," pungkasnya. (Sis/Gdn)
Source: liputan6.com
|
Rupiah Tak Jadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri |
Liputan6.com, Jakarta - Selama ini rupiah selalu dipandang sebagai mata uang level dua. Banyak pengusaha dan kalangan bisnis yang lebih suka bertransaksi menggunakan dolar Amerika Serikat (AS). Akibatnya, karena tak sering diperlukan, nilai tukar rupiah terus melemah.
Menurut Politisi sekaligus ekonom Suharso Monoarfa, momen pelemahan rupiah seperti saat ini seharusnya bisa dijadikan momentum bagi pemerintah untuk membangkitkan kembali kecintaan masyarakat terhadap rupiah.
"Perlakukan rupiah sebagai raja di negeri sendiri. Kita harus bangga menggunakan rupiah, jangan hal buruk terus yang digaungkan soal rupiah," ungkap Suharso dalam diskusi terbuka di Jakarta, Sabtu (20/12/2014).
Dia menjelaskan, saat ini pengawasan dan dorongan pemerintah terhadap penggunaan rupiah di Tanah Air masih terbilang lemah. Para pengusaha di Indonesia saat ini masih menghitung biaya produksinya dengan dolar atau euro.
Perusahaan penerbangan dan bisnis perhotelan di sejumlah wilayah di Tanah Air juga masih menggunakan dolar dalam setiap transaksinya.
"Saya ingin himbau Garuda Indonesia, kalau buat tarif perjalanan ke luar negeri itu jangan menggunakan dolar. Harusnya pakai rupiah. Itu yang penting," tegasnya.
Suharso juga meminta pemerintah untuk mengembalikan tarif inap di sejumlah hotel di beberapa wilayah tujuan wisata , agar kembali menggunakan rupiah. Pemerintah bisa memulainya pengetatan penggunaan rupiah tersebut di wilayah Bali dan Lombok.
"Aksi cinta rupiah itu harus didorong dengan satu aturan. Itu wilayah pemerintah daerah yang harus ambil insiatif," katanya.
Berikutnya adalah menghentikan penghunaan dolar untuk transaksi pembayaran dalam berbagai kontrak di sektor ketenagalistrikan. Seluruh perhitungan biaya dalam kontrak tersebut harus menggunakan rupiah dan bukan dolar seperti sekarang.
Dia juga mencontohkan pemerintah Thailand yang setia menggunakan baht dan mengharuskan turis asing menukar mata uangnya dengan baht. Begitu pula yang terjadi di Filipina.
Pengamat pasar uang Fahrial Anwar menjelaskan, aturan mengenai penggunaan rupiah di wilayah NKRI sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang. Namun undang-undang tersebut belum berjalan optimal.
"Di daerah Batam aturan tersebut sudah mulai diterapkan tapi memang betul masih banyak daerah yang belum menerapkannya," kata dia. (Sis/Gdn)
Source: liputan6.com
|
Dua Aturan Ini Bikin Rupiah Jungkir Balik |
Liputan6.com, Jakarta - Alih-alih menjaga stabilitas mata uang, Undang-Undang (UU) yang dibuat pemerintah ternyata bisa menjadi bumerang yang berpotensi menghantam nilai tukar rupiah. Pengamat mata uang Farial Anwar menjelaskan, selama ini terdapat dua UU yang penerapannya atau kelemahan pengawasannya membuat rupiah jungkir balik.
"Ada UU Nomor 24 Tahun 1999 mengenai lalu lintas devisa. Aturan ini yang menyebabkan dana asing bisa masuk dan keluar kapan saja ke Indonesia," ungkap Fahrial dalam diskusi terbuka di Jakarta, Sabtu (20/12/2014).
Dengan aturan tersebut, dana asing bisa menyerbu Indonesia kapan saja tanpa holding period (batas kurun waktu kepemilikan). Tentu saja kondisi tersebut menunjukkan perekonomian Indonesia sangat liberal.
"Ketika dana asing masuk kita senang, ketika ada outflow, rupiah jadi jungkir balik tak karuan. Jadi baru ada rumor saja The Fed mau tapering, rupiah sudah berantakan," jelasnya.
Pemerintah dinilai sama sekali tidak memiliki manajemen risiko. Berbeda dengan beberapa negara lain yang tetap tenang saat menghadapi hantaman sentimen global karena menerapkan holding period tertentu.
Aturan kedua yang dapat berubah menjadi penyerang rupiah adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang.
"Pembuat aturan tampak tidak paham apa yang menjadi maslaah dan apa yang harus diatur untuk menstabilkan rupiah. Tidak detil di wilayah mana saja penggunaan dolar harus dibatasi atau dihentikan dan diganti dengan rupiah," terangnya.
Menurutnya, undang-undang tersebut tidak diikuti dengan peraturan pemerintah mengenai transaksi mana saja yang dianggap dapat mengganggu pergerakan rupiah jika dilakukan dengan menggunakan dolar seperti kontrak listrik, kontrak tambang, dan visa on arrival.
"Sudah ada sejak 2011 tapi undang-undang ini tidak jalan. Padahal ada sanksinya, setahun penjara atau denda Rp 200 juta jika melanggar," tandasnya. (Sis/Gdn)
Source: liputan6.com
|
Pemerintah Indonesia Harus Belajar Jadi Produsen |
Liputan6.com, Jakarta - Mengamati tren pelemahan nilai tukar rupiah sepanjang tahun ini, pemerintah diharapkan dapat segera mengatasi akar masalah goyahnya mata uang tersebut. Politisi sekaligus ekonom Suharso Monoarfa menilai, pemerintah lebih dulu harus mengatasi penyakit yang meradang di tubuh perekonomian Indonesia.
Kenyataannya, menurut Suharso pemerintah cenderung menelurkan kebijakan responsif yang bersifat sementara mengatasi volatilitas rupiah.
"Pemerintah selalu punya rencana pembangunan jangka panjang, pengamanan sistem pembayaran dan pengendalian inflasi. Tapi penyakitnya masih saja sejak zaman orde baru, yaitu defisit neraca berjalan," ungkapnya saat menjadi pembicara dalam acara diskusi terbuka di Jakarta, Sabtu (20/12/2014).
Dia bahkan mengatakan, ciri khas perekonomian Indonesia selama 30 tahun di zaman orde baru adalah defisit transaksi berjalan. Ironisnya, itu masih terjadi kembali di masa reformasi.
"Tapi kita santai aja, sementara jantung permasalahannya tidak diselesaikan," katanya.
Suharso menjelaskan, defisit transaksi berjalan adalah ketika pemerintah tidak bisa menunjukkan produktivitas di dalam negeri, setidaknya hingga dapat memenuhi kebutuhan pasar domestik. Indikatornya jelas, sampai hari ini, pemerintah masih melakukan impor pangan.
"Banyak yang lupa bahwa akan ada lompatan jumlah penduduk, 30 tahun ke depan yang dapat mencapai angka 440 juta jiwa. Kalau 50 tahun bisa sampai 500 juta jiwa," tuturnya.
Artinya pemerintah harus segera mengatasi defisit transaksi berjalan sesegera mungkin. Itu lantaran adanya kebutuhan yang tinggi akan pembangunan infrastruktur di Tanah Air.
"Yang penting adalah berbisnis dengana cara pandang dagang. Siapa yang menyangka air mineral dibotolkan ada yang beli? Dulu dianggap tidak masuk akal," paparnya.
Dia menegaskan, pemerintah Indonesia harus belajar menjadi produsen (a maker). Dengan begitu pemerintah dapat menggenjot industri di Tanah Air dan memiliki sistem perekonomian yang lebih stabil.
"Jangan tiap ada surplus senang, padahal defisitnya bisa lebih parah," pungkasnya. (Sis/Gdn)
Source: liputan6.com
|