Liputan6.com, Jakarta Bank Indonesia (BI) mengimbau kepada pihak swasta untuk hati-hati berutang dalam denominasi mata uang asing atau valas. Pasalnya, utang luar negeri (ULN) yang kebablasan dapat mengakibatkan gejolak nilai tukar rupiah.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Tirta Segara mengatakan, utang luar negeri swasta sampai akhir tahun lalu sebesar US$ 141 miliar. Angka ini melampaui utang luar negeri pemerintah yang tercatat US$ 124 miliar.
"Kami akan mencermati meski ULN swasta berasal dari loan agreement bukan foreign direct investment (FDI). Mempunyai jangka panjang tapi ada utang yang tak dilindung nilai, dan ini perlu dicermati karena jumlah ULN swasta semakin hari meningkat," terang dia di kantornya, Jakarta, Selasa (8/4/2014).
Lanjut Tirta, BI menghimbau agar pihak swasta dapat mengukur kemampuan bayar sebelum berutang. Apalagi jika pinjaman tersebut dalam bentuk valas, sedangkan penghasilan yang diterima dalam denominasi rupiah.
"Jadinya kan mereka butuh valas untuk bayar utang, sementara valas didapat lewat kegiatan ekspor. Harus hati-hati dalam berutang, cermati kemampuan bayarnya," kata dia.
Untuk melunasi pinjaman luar negeri, kata dia, pihak swasta membutuhkan valas yang cukup banyak. Nilai utang berpotensi membengkak apabila terjadi gejolak nilai tukar dan swasta tersebut tak melakukan hedging (lindung nilai).
"Kalau antara suplai dan demand nggak match (valas) bisa mengakibatkan gejolak nilai tukar rupiah," tutur Tirta.
Sekadar informasi, pada akhir Maret ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ditutup di level Rp 11.360 per dolar AS enguat 2,19% dibandingkan catatan level kurs rupiah di Februari 2014.
Secara rata-rata, rupiah pada bulan ketiga ini tercatat Rp 11.420 per dolar AS naik 4,38% dari rata-rata bulan kedua lalu sebesar Rp 11.919 per dolar AS.
"Kami akan menjaga stabilitas kurs rupiah sesuai fundamentalnya dan didukung berbagai upaya untuk meningkatkan pendalaman pasar uang," pungkas dia.
(Nurseffi Dwi Wahyuni)
Source: liputan6.com
|