Liputan6.com, Jakarta - Rupiah kembali menguat pada perdagangan hari ini setelah sempat melemah di minggu lalu karena beberapa risiko. Penguatan rupiah ini sentimen-sentimen negatif sudah mulai memudar.
Mengutip data valuta asing Bloomberg, Senin (11/8/2014), rupiah dibuka menguat tipis di level Rp 11.740 per dolar AS dari penutupan sebelumnya di level Rp 11.778 per dolar AS. Penguatan terus berlanjut. Pada pukul 11.30 WIB, nilai tukar rupiah berada di level Rp 11.685 per dolar AS.
Sedangkan menurut Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia, rupiah berada di level Rp 11.728 per dolar AS pada hari ini, menguat jika dibanding Jumat lalu yang berada di level Rp 11.822 per dolar AS.
Ekonom Senior Standard Chartered Bank Indonesia, Fauzi Ichsan menjelaskan, penguatan nilai tukar rupiah terjadi karena sentimen negatif pemilihan presiden berangsur-angsur sudah mulai luruh.
"Investor melihat bahwa kepastian politik sudah terlihat meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) masih melangsungkan sidang mengenai pemilihan presiden," jelasnya kepada Liputan6.com.
Menurutnya, penguatan rupiah ini akan terus terjadi jika didukung dengan penguatan fundamental ekonomi yang tercermin dalam angka inflasi dan angka neraca perdagangan.
Namun, menurut Fauzi, terdapat beberapa sentimen negatif dari luar negeri yang dalam mempengaruhi pergerakan rupiah. Namun pengaruh tersebut hanya sesaat.
Meningginya konflik di Ukraina terkait saling lempar sanksi antara Amerika dan Eropa dengan rusia membuat pergerakan nilai tukar beberapa mata uang utama.
Selain itu, konflik di Timur Tengah juga menjadi sentimen negatif karena beberapa investor melihat ketegangan tersebut akan meningkatkan risiko investasi di negara berkembang.
Analis Pasar Modal Agricole CIB, Hong Kong, Dariusz Kowalczyk menambahkan, risiko pelemahan mata uang di Asia termasuk rupiah lebih lebar lagi karena ada potensi percepatan kenaikan suku bunga acuan Amerika.
"Beberapa indikator ekonomi seperti angka pengangguran dan juga pasar properti yang terus membaik bisa membuat bank sentral Amerika Serikat menaikkan suku bunga lebih cepat dari perkiraan," jelasnya seperti ditulis oleh Bloomberg. (Gdn)
Source: liputan6.com
|